Jangan Bodoh Lagi!
Dia memelukku dari samping, membiarkan aku menghirup dalam-dalam wangi tubuhnya, juga membuatku merasa nyaman. Tenang. Aman.
"Kamu ingat ceritaku soal cowok yang dulu pernah aku ceritain? Yang kamu bilang, aku terlalu bodoh untuk bertahan sama dia?"
Dia menyempatkan mengusap-usap lenganku. Pelan. Lembut.
"Iya, aku ingat. Ada apa sama dia?"
Hening. Hembusan nafas kami terdengar saling berlomba.
"He kicked me out. Dia minta aku pergi dari hidupnya."
Tawanya meledak. Aku mengangkat kepalaku dari pundaknya, melihatnya dengan pandangan heran.
"Hahahaha..., eh, maaf. Tapi, aku enggak kuat nahan ketawa."
Dia menarik bahuku, membiarkan kepalaku jatuh di pundaknya lagi.
"Ya sudah, mau apa lagi? Tapi, kamu nggak kenapa-kenapa, kan? Kapan dia minta kamu pergi?" lanjutnya.
"Dia bilang sekitar 1 bulan yang lalu. I'm fine. Sekarang rasanya jauh lebih baik."
Hening datang lagi. Tak ada obrolan. Entah apa yang ada di pikirannya, sekalipun usapannya di lenganku belum berhenti. Penasaran, aku mengangkat kepalaku dari pundaknya, lalu menatap wajahnya lekat-lekat.
"Kamu mikir apa, Tian?"
"Nothing, Mala. Aku cuma, yah, aku tenang kalau kamu sudah jauh lebih baik sekarang. Sudah lepas dari laki-laki yang enggak pantas buat kamu. Jangan bodoh lagi!" jawabnya sambil mengedipkan sebelah matanya, juga menyentuh ujung hidungku dengan telunjuknya.
Aku tersenyum. "I will, Tian. Makasih, ya. Aku sayang kamu."
Matanya menyipit. "Kenapa gitu?"
"Karena kamu memang orang yang pantas disayangi. Itu aja."
Pandangannya melembut. "Aku tahu. Aku pun sayang kamu, Mala."
21.01.2013
"Kamu ingat ceritaku soal cowok yang dulu pernah aku ceritain? Yang kamu bilang, aku terlalu bodoh untuk bertahan sama dia?"
Dia menyempatkan mengusap-usap lenganku. Pelan. Lembut.
"Iya, aku ingat. Ada apa sama dia?"
Hening. Hembusan nafas kami terdengar saling berlomba.
"He kicked me out. Dia minta aku pergi dari hidupnya."
Tawanya meledak. Aku mengangkat kepalaku dari pundaknya, melihatnya dengan pandangan heran.
"Hahahaha..., eh, maaf. Tapi, aku enggak kuat nahan ketawa."
Dia menarik bahuku, membiarkan kepalaku jatuh di pundaknya lagi.
"Ya sudah, mau apa lagi? Tapi, kamu nggak kenapa-kenapa, kan? Kapan dia minta kamu pergi?" lanjutnya.
"Dia bilang sekitar 1 bulan yang lalu. I'm fine. Sekarang rasanya jauh lebih baik."
Hening datang lagi. Tak ada obrolan. Entah apa yang ada di pikirannya, sekalipun usapannya di lenganku belum berhenti. Penasaran, aku mengangkat kepalaku dari pundaknya, lalu menatap wajahnya lekat-lekat.
"Kamu mikir apa, Tian?"
"Nothing, Mala. Aku cuma, yah, aku tenang kalau kamu sudah jauh lebih baik sekarang. Sudah lepas dari laki-laki yang enggak pantas buat kamu. Jangan bodoh lagi!" jawabnya sambil mengedipkan sebelah matanya, juga menyentuh ujung hidungku dengan telunjuknya.
Aku tersenyum. "I will, Tian. Makasih, ya. Aku sayang kamu."
Matanya menyipit. "Kenapa gitu?"
"Karena kamu memang orang yang pantas disayangi. Itu aja."
Pandangannya melembut. "Aku tahu. Aku pun sayang kamu, Mala."
21.01.2013
Komentar
Posting Komentar