Hari Ke-18: Kejutan

Kami saling duduk dalam diam. Menatap langit penuh bintang dari balkon tempat kost-nya adalah kebiasaan kami sejak dulu. Sama halnya malam ini, setelah sebelumnya dia mengirim pesan singkat. Ingin ditemani, karena badannya demam mulai dua hari yang lalu.

Aku tiba di kost-nya 20 menit kemudian dan menemukannya sudah duduk manis di balkon, dengan bedcover tebal memeluk badannya mesra. Aku mengambil tempat di sampingnya. Mengacak-acak rambutnya sekali, yang dia balas dengan memberiku sebuah senyuman yang rajin hadir di mimpiku. Dia terlihat cantik, sekalipun sedikit pucat.

"Masih sakit? Sudah ke dokter?"

Gelengan kepalanya yang menjawab. Seharusnya aku bisa menebak, dia benci dokter, pun obat-obatan. "Air putih hangat itu sudah cukup!", selalu jadi senjata setiap kali aku memaksa untuk mengantar ke dokter.

"Pacarmu sudah tahu, kamu sakit? Dia sudah jenguk kamu?"

"Dia tahu aku sakit, tapi belum sempat jenguk. Dikejar deadline. Tapi tadi sempat bilang, mau usahain jenguk nanti sepulang dia kerja."

Aku mendengus. "Kamu masih bertahan sama laki-laki itu? Sudah sayang banget?" Kerongkonganku terkancing, perasaanku teriris tiba-tiba. Menanyakan hal yang sudah jelas jawabannya, itu percuma. Apalagi ketika hatimu menyimpan rasa lebih pada orang yang kamu tanya. Sia-sia.

Alih-alih menjawab, dia memilih tersenyum. Pertanyaan itu memang sudah bolak-balik aku tanyakan.

"Apa kabar mamamu? Masih sibuk seperti biasa? " dia mengalihkan pembicaraan.

Mama, selain seorang single parent dari 3 orang anak, beliau juga wanita karier. Aku putranya yang tertua. Papa-Mama sudah bercerai sejak aku masih kecil dan sejak itu, mama makin gila kerja.

"Kabar Mama baik. Tadi sempat tanya soal kamu juga titip salam, sebelum aku berangkat ke sini."

"Salam balik, ya. Bilang terimakasih, sudah perhatian sama aku. Mamamu baik banget."

Tepat setelah dia memberi tanda titik pada kata-katanya, ujung matanya menangkap sebuah bintang jatuh.

"Dit, make a wish!" teriaknya.

Aku tersenyum geli. Itu salah satu hal konyol yang dia percaya, selain larangan dilarang keramas waktu datang bulan. Dia pernah bilang, kalau segala harapannya pasti terkabul tak lama setelah bintang jatuh. Kebetulan? Entahlah. Aku tidak percaya kebetulan. Tapi di jaman seperti ini dan masih ada yang hal macam itu? Oh, ayolah...

Melihat dia yang sudah lebih dulu memejamkan mata dan bibir mungilnya komat-kamit bak dukun, aku makin geli. Iseng, aku mencoba ikut mengucap sebuah harapan. Harapan yang muncul dari hati.

Ketika aku membuka mata, dia sudah melihatku dengan tatapan mata penuh kejailan. Aku tersenyum.

"Ngapain lihat-lihat?"

"Ciyeee, akhirnya make a wish juga! Berharap apa kamu? Cepat dapat pacar? Nilai IP tiga koma? Minta menang undian? Apa...apa?" desaknya.

"Enggak penting, ah. Kamu sendiri, minta apa? Pasti minta biar pacarmu nanti ada waktu buat ketemuan, ya, kan?"

"Huuu, ditanyain malah balik tanya. Kalau sudah tahu jawabannya, ngapain tanya-tanya? Lagipula, nanti kalau dia bisa jenguk, kan bisa aku kenalin kamu ke dia. Katanya kamu penasaran sama dia. Ayo, kamu tadi minta apa?"

Aku menarik nafas panjang, sampai akhirnya menjawab pertanyaannya. "Aku minta ketemu papa, aku kangen." aku tersenyum. "Sudah puas?"

Bukannya memberi sebuah jawaban, dia justru memberiku sebuah tatapan sendu. Iya, dia memang tahu kalau beberapa waktu belakangan ini, aku berharap ketemu Papa. Sudah 1 bulan, beliau sibuk, ada proyek di luar kota. Sungguh, perceraian itu tidak mudah dihadapi bagi seorang anak.

Dia menggeser duduknya, memeluk dan menepuk-nepuk punggungku. "Sabar, ya, Dit. Semoga kamu bisa ketemu lagi sama Papa."

Aku balas memeluknya. "Suatu saat nanti, aku kenalin kamu ke Papa. Dia pasti senang kenal sama perempuan enerjik kayak kamu. Udah, it's ok. Aku enggak kenapa-kenapa kok."

Pelukan meregang, hingga akhirnya lepas sama sekali, lalu kami kembali menatap langit. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Hening merambat. Detik kian kerap berdetak. Sendu. Syahdu.

Sebuah langkah mendekat ditangkap gendang telingaku dengan jelas. Wanita di sebelahku menoleh lebih dulu dan seketika loncat dari duduknya.

"Sayaaaannnnggg, kamu akhirnya jenguk aku!" pekiknya sambil memeluk leher lelaki pujaan hatinya erat-erat.

Aku pun ikut berdiri, menghargai kedatangan lelakinya, sekalipun mereka masih saling erat berpelukan. Untuk kedua kalinya, tenggorokanku seperti terkancing dengan erat.

"Papa?"


18.01.2013

Komentar

  1. Endingnya... :'O
    #PapakuAdalahRivalku

    BalasHapus
  2. hehehe. begitulah, chil :'(

    BalasHapus
  3. Haha... Miris! :'( Tapi bukankah cinta tidak pernah salah?

    BalasHapus
  4. iya. cinta (sama sekali) tidak pernah salah :')

    BalasHapus
  5. bagus pan..trus..trus nasib dokternya gmana?? #salahfokus

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer