Hari Ke-24: Ini Ceritaku, Mana Ceritamu?
Menikmati hari waktu Mama ada di Surabaya, selalu jadi suatu kenikmatan tersendiri. Iya, beberapa waktu belakangan ini, Mama memang lebih sering menghabiskan waktu di luar kota. Jam kami untuk bertemu, jadi amat berkurang. Kangen? Jelas! Mama selalu berhasil jadi tempat berbagi cerita, teman sarapan atau makan malam, sekaligus sosok yang bisa diajak bercanda.
Seperti tadi pagi, waktu aku riweuh siap-siap berangkat ke kantor, Mama duduk manis di depan televisi. Berita di salah satu stasiun televisi swasta jadi pilihannya. Karena sesekali curi dengar, akhirnya aku tahu kalau itu berita tentang penyakit yang diderita beberapa warga di daerah banjir, entah di mana saja. Di berita itu, sempat ditunjukkan ada seorang anak dengan jarum infus di tangannya dan kebetulan, anak itu ada di gendongan Ibunya.
Yang nggak disangka, tayangan itu seakan jadi benang merah ke ingatan Mama. Tiba-tiba muncul celetukan, "Lihat ada anak kecil diinfus, terus digendong Ibunya gitu, Mama jadi inget kamu pas masih kecil. Kalau sakit, mesti minta digendong."
Obrolan masa kecil selalu jadi hal paling menarik (buat aku, sih, ehehehe...) dan akhirnya berlanjut.
"Lho, iya ta? Gitu itu, aku yang minta atau Mama yang langsung gendong?"
"Ya kamu yang minta."
"Mintanya gimana?"
"Biasanya kamu langsung rangkul gitu." Pas Mama bilang ini, reflek Mama juga gerakin tangan kayak peluk orang.
"Peluk kakinya Mama, gitu maksudnya?"
"Iya. Kalau udah gitu, Mama nggak tega, terus akhirnya tak gendong."
"Pas meluk kaki, aku nggak bilang apa-apa?"
"Kamu biasanya cuma bilang 'nggg...nggg... (kayak suara rengekan), udah gitu aja. Mama mana tega, soalnya badanmu panas. Adik yang sakitnya lebih parah, masuk rumah sakit."
Aku tersenyum. Itu cerita waktu aku umur sekitar 2 tahun. Aku yang anak kembar, buat Mama jadi bingung waktu anaknya sama-sama sakit. Kembaranku, yang kebetulan dipanggil adik, sakitnya lebih parah, muntaber. Aku yang cuma panas, diputuskan cuma dirawat di rumah aja.
Ada banyak kata yang nggak bisa diungkap setiap kali dengar cerita Mama soal pengorbanannya waktu aku kecil. Termasuk cerita soal keputusan Mama berhenti jadi wanita karier, waktu aku umur 3 tahun.
Cerita lain. Sore itu, aku sama adik yang baru selesai mandi, lagi asyik ngobrol sambil makan pisang goreng di teras rumah. Ternyata nggak lama kemudian, Mama pulang kerja dan lihat kami. Mungkin dasarnya memang perasaan seorang Ibu itu semacam pualam, karena setelah lihat kami asyik dengan "dunia" yang kami buat, Mama terharu dan merasa nggak mau melewatkan masa emas anak-anaknya. Keputusan resign langsung diambil tanpa pikir ulang.
See? Betapa berharganya keputusan yang Mama ambil. Mama pun tidak pernah menyesal sampai detik ini. Banyak cerita yang Mama kenang. Termasuk cerita anak-anaknya yang mengira kecebong (anak kodok) di got depan rumah itu adalah ikan, aku yang mengira bakal mati gara-gara kecepit di bawah meja, adik yang tanpa dosa cabut bunga sedap malam di halaman, .... Masih banyak! Oh, iya, pas anak kembarnya sama-sama sakit, nggak jarang Mama langsung gendong kami berdua. Dan seringnya, di gendongan Mama kami malah "bertengkar" saling dorong, gara-gara "rebutan" Mama. Aku ngeyel "ini Mamaku!", si adik juga ngeyel "ini Mamaku!". Oh, apalah aku ini...
Tanpa Mama, mungkin aku cuma jadi "anak" asisten rumah tangga. Nggak bisa tahu perasaan sayang dari seorang Mama. Juga nggak bisa punya cerita-cerita manis yang bisa aku kenang sampai detik ini. Tanpa Mama, ah, aku speechless...
Mam,
Nyak,
Mah,
I love you
Thank you, for everything
Seperti tadi pagi, waktu aku riweuh siap-siap berangkat ke kantor, Mama duduk manis di depan televisi. Berita di salah satu stasiun televisi swasta jadi pilihannya. Karena sesekali curi dengar, akhirnya aku tahu kalau itu berita tentang penyakit yang diderita beberapa warga di daerah banjir, entah di mana saja. Di berita itu, sempat ditunjukkan ada seorang anak dengan jarum infus di tangannya dan kebetulan, anak itu ada di gendongan Ibunya.
Yang nggak disangka, tayangan itu seakan jadi benang merah ke ingatan Mama. Tiba-tiba muncul celetukan, "Lihat ada anak kecil diinfus, terus digendong Ibunya gitu, Mama jadi inget kamu pas masih kecil. Kalau sakit, mesti minta digendong."
Obrolan masa kecil selalu jadi hal paling menarik (buat aku, sih, ehehehe...) dan akhirnya berlanjut.
"Lho, iya ta? Gitu itu, aku yang minta atau Mama yang langsung gendong?"
"Ya kamu yang minta."
"Mintanya gimana?"
"Biasanya kamu langsung rangkul gitu." Pas Mama bilang ini, reflek Mama juga gerakin tangan kayak peluk orang.
"Peluk kakinya Mama, gitu maksudnya?"
"Iya. Kalau udah gitu, Mama nggak tega, terus akhirnya tak gendong."
"Pas meluk kaki, aku nggak bilang apa-apa?"
"Kamu biasanya cuma bilang 'nggg...nggg... (kayak suara rengekan), udah gitu aja. Mama mana tega, soalnya badanmu panas. Adik yang sakitnya lebih parah, masuk rumah sakit."
Aku tersenyum. Itu cerita waktu aku umur sekitar 2 tahun. Aku yang anak kembar, buat Mama jadi bingung waktu anaknya sama-sama sakit. Kembaranku, yang kebetulan dipanggil adik, sakitnya lebih parah, muntaber. Aku yang cuma panas, diputuskan cuma dirawat di rumah aja.
Ada banyak kata yang nggak bisa diungkap setiap kali dengar cerita Mama soal pengorbanannya waktu aku kecil. Termasuk cerita soal keputusan Mama berhenti jadi wanita karier, waktu aku umur 3 tahun.
Cerita lain. Sore itu, aku sama adik yang baru selesai mandi, lagi asyik ngobrol sambil makan pisang goreng di teras rumah. Ternyata nggak lama kemudian, Mama pulang kerja dan lihat kami. Mungkin dasarnya memang perasaan seorang Ibu itu semacam pualam, karena setelah lihat kami asyik dengan "dunia" yang kami buat, Mama terharu dan merasa nggak mau melewatkan masa emas anak-anaknya. Keputusan resign langsung diambil tanpa pikir ulang.
See? Betapa berharganya keputusan yang Mama ambil. Mama pun tidak pernah menyesal sampai detik ini. Banyak cerita yang Mama kenang. Termasuk cerita anak-anaknya yang mengira kecebong (anak kodok) di got depan rumah itu adalah ikan, aku yang mengira bakal mati gara-gara kecepit di bawah meja, adik yang tanpa dosa cabut bunga sedap malam di halaman, .... Masih banyak! Oh, iya, pas anak kembarnya sama-sama sakit, nggak jarang Mama langsung gendong kami berdua. Dan seringnya, di gendongan Mama kami malah "bertengkar" saling dorong, gara-gara "rebutan" Mama. Aku ngeyel "ini Mamaku!", si adik juga ngeyel "ini Mamaku!". Oh, apalah aku ini...
Tanpa Mama, mungkin aku cuma jadi "anak" asisten rumah tangga. Nggak bisa tahu perasaan sayang dari seorang Mama. Juga nggak bisa punya cerita-cerita manis yang bisa aku kenang sampai detik ini. Tanpa Mama, ah, aku speechless...
Mam,
Nyak,
Mah,
I love you
Thank you, for everything
Ini salah satu foto masa kecil favoritku.
Mau tebak, aku yang mana?
25.01.2013
yang baju merah :)
BalasHapuspasti yang itu...
BalasHapusBaca ini jadi kangen rumah :'(
BalasHapusyang merah...hahaha. ini ceritanya manis banget vanda. apalagi waktu baca alasan bulik resign karena her twins-nya.. sama kaya alesan aq resign kerja kemarin juga lohhh.... btw, please be my friend blog. biar ga sepi ni friendlist blog-ku... hahahaha *maksadikit :p
BalasHapusdear all,
BalasHapushahahaha, iya...aku yg baju merah! jempol buat kalian semua :D