Hari Ke-4: Bagaimana Jika Kita Tidak Berbeda
02.01.2013 02:51:52 pm
Oom, jangan marah, ya? tadi aku sempat buka sebuah link, isinya penuh jadwal upacara agama, yang nyaris tiap hari, emang enggak capek, ya?
02.01.2013 02:54:59 pm
Kenapa harus marah? Itu memang konsekuensi dan memang harus dilaksanakan, makanya agama Hindu itu agama yang fleksibel, semua itu tidak harus dilaksanakan, yang bisa ya tetap dilaksanakan tapi kalau sudah benar-benar ga bisa, ya kita laksanakan sesuai kemampuan karena Tuhan kan Maha Tahu, so, ga susah kok.
Aku terdiam.
------
Percakapan 2 hari yang lalu itu masih tersimpan rapi jadi pesan singkat di telepon selulerku. Obrolan yang awalnya sekedar bertanya kabar, berlanjut jadi obrolan yang lumayan serius, yang ada sangkut pautnya dengan keyakinan masing-masing.
Aku dilahirkan di keluarga yang (cukup) beragam. Adik Oma yang paling kecil, Hajaril Indasah -- biasa dipanggil Eyang In, beragama Islam, menikah dengan seorang lelaki Bali beragama Hindu, I Gusti Putu Tenaya -- biasa dipanggil Eyang Te. Soal cerita awal mereka ketemu, jangan ditanya, karena aku tidak pernah tahu tentang itu.
Waktu aku kecil, Mama pernah bilang kalau ada anggota keluarga besar kami, yang menganut ajaran agama lain. Mama sekadar memberitahu, bukan memprovokasi atau apapun yang sifatnya negatif. Mama juga selalu mengajarkan untuk bersikap baik, juga selalu mendekatkan aku dengan anggota keluarga kami yang "berbeda".
Pola pikir anak kecil itu terbatas, itu sudah pasti. Waktu kecil, aku sama sekali tidak pernah berpikir tentang apa yang membuat kami beda dan apa yang harus dipermasalahkan. Baik dari Eyang In atau Eyang Te, aku selalu penuh kasih sayang. Aku ingat, aku selalu senang setiap kali diajak ke rumah Eyang, atau waktu Eyang berkunjung ke rumah. Bukan karena apa, tapi ini karena Eyang nyaris sering membagi atau membawa sekotak besar berisi coklat almond yang luar biasa enak! Lebih menyenangkan lagi, selepas kami berpisah, saku celanaku bisa dipastikan penuh berisi kertas-kertas bernilai Rupiah. Perihal asalnya, dari mana lagi kalau bukan dari Eyang?
Keluarga kami saling menghargai perayaan agama masing-masing. Eyang Te selalu ikut bersilaturahmi setiap kali kami merayakan Lebaran, ikut bermaaf-maafan, ikut mengantarkan istri dan anak-anaknya berkunjung ke sanak saudara. Di sisi lain, kami yang beragama muslim juga menghargai bahkan ikut membantu (sebatas pada hal yang diperbolehkan untuk dibantu) setiap kali Eyang Te merayakan Nyepi, Galungan atau upacara-upacara agama yang lain, termasuk upacara adat.
Eyang punya empat anak. Dua laki-laki dan satu perempuan, memilih berkeyakinan Hindu. Sisanya, satu laki-laki, memilih menganut ajaran Islam. Aku melihat, sekalipun berbeda, mereka toh tetap saling menghargai. Rukun satu sama lain.
Salah satu anak lelaki Eyang yang beragama Hindu, sekarang sudah menikah dengan perempuan Muslim. Anak mereka 2 orang. Yang pertama, perempuan, memilih untuk ikut keyakinan Ibunya. Yang kedua, laki-laki, memutuskan menyebut nama Tuhan dengan cara yang sama seperti Ayahnya.
Jadi? Keberagaman itu benar-benar tidak bisa terelakkan, kan?
Kami ada. Saling berbagi. Menghargai dan menerima satu sama lain.
Di tulisan ini, aku sama sekali tidak bermaksud mengangkat perbedaan pendapat, yang sudah pasti tidak akan menemukan ujungnya. Juga bukan berniat membandingkan ajaran dari agama yang tadi aku sebut. Bukan itu. Aku sekadar ingin menunjukkan bahwa, keberagaman itu ada dan (luar biasa) indah.
Kami memang menyebut nama Tuhan dengan sebutan yang berbeda. Tapi, bukankah setiap agama selalu mengajarkan untuk menyayangi sesama?
Lalu, apa (lagi) yang perlu dibedakan?
------
02.01.2013 02:57:35 pm
Ralat ya, Oom... Setiap agama itu fleksibel, dengan caranya masing-masing.
***
04.01.2013
Suka :')
BalasHapusLakum dinikum, wa liyadin.
"Kami memang menyebut nama Tuhan dengan sebutan yang berbeda. Tapi, bukankah setiap agama selalu mengajarkan untuk menyayangi sesama?
BalasHapusLalu, apa (lagi) yang perlu dibedakan?"
saya boleh quote kalimat itu? :)