Pria di Taman Lansia
Selamat pagi, Pak,
Sebagaimana
kebiasaan orang Indonesia yang nggak pas kalau belum tanya kabar, jadi ya,
sapaanku berikutnya adalah “apa kabar, Pak?” Semoga keadaan Bapak pagi
ini baik-baik saja, ya. Sama seperti apa yang aku lihat.
Pak,
surat ini aku buat karena dua alasan. Pertama, karena aku sedang ikut
#30HariMenulisSuratCinta yang hari ini punya tema. Menulis untuk orang asing
yang ada di foto, dan foto itu harus diambil sendiri oleh si penulis. Lewat
surat ini, sebelumnya aku minta maaf kalau aku mengambil gambar tanpa izinmu
lebih dulu. Karena kalau izin lebih dulu, berarti aku bakal kenalan
sama Bapak, terus kita ngobrol, bahas ini-itu, soal keluarga, harga
sembako, pemilihan presiden, cuaca yang nggak menentu, dan seterusnya… dan
akhirnya kita jadi akrab, deh. Kalau udah gitu, Bapak nggak jadi orang asing
lagi dong! Terus kalau Bapak sudah bukan orang asing, aku bisa pusing
tujuh keliling lagi mau kirim surat buat siapa. Jadi, lebih baik aku nggak
usah minta izin Bapak aja, ya?
Alasan
kedua, karena… ehm… aku pengen bilang kalau sebenarnya aku ini sering banget liatin Bapak dan jadi stalker. Iya sih, gimana aku
nggak liatin Bapak, kalau tempat Bapak jualan itu nggak terlalu jauh di kantorku? Itu jalur yang memang harus aku lewati. Tapi walaupun rajin jadi stalker, aku juga nggak
tahu sudah berapa lama Bapak jualan di situ. Stalker macam apa aku ini?
Haduh, aku suka malu sendiri
tiap kali lihat Bapak. Mungkin kalau katanya Darto – Danang (itu lho, Pak, yang jadi
pembawa acara The Comment di NET. Oh, apa? Bapak nggak tahu? Ya sudah, nggak papa,
nggak penting juga), alasan aku malu itu sungguh alasan yang amat sangat BIASA,
dan cara penyampaianku ini sungguh cara yang amat sangat STANDAR.
Oke,
aku ini malu sendiri, soalnya Bapak bisa selalu senyum jalani hari, duduk bersebelahan
sama beberapa lembar koran yang Bapak jual. Duh, muka Bapak itu tulus
sekali, rasanya ikhlas sekali jalani hidup. Sedangkan aku, kadang suka suntuk
duluan pas berangkat ke kantor, cuma gara-gara stres sendiri ingat tumpukan
kerjaan di kantor. Meja kerjaku jauh lebih nyaman, ruangannya dingin pula. Beda jauh
sama Bapak yang harus kepanasan (walaupun itu matahari pagi yang katanya
sehat), kena debu kendaraan bermotor pula. Belum lagi kalau misal hujan udah berpesta pagi-pagi.
Terus, Bapak jualan dimana? Duh, keadaanku sungguh jauh lebih baik daripada
Bapak. (mulai mewek)
Pak, segini aja suratku. Aku nggak terlalu bisa nulis surat ini lebih panjang lagi (soalnya takut makin mewek). Sekali lagi aku minta maaf kalau ambil foto tanpa izin. Apa?
Bapak nggak masalahin itu? Duh, makasih lho, Pak. Semoga dagangannya bisa habis
sebelum hari terlalu siang, ya. Aamiin.
11.02.2014
Semoga Tuhan melindungi orang-orang yang bekerja tulus demi keluarganya. Amin.
BalasHapusAamiin :')
HapusSemoga dagangannya bapak cepat habis. :)
BalasHapusiya, aamiin :)
Hapus*ikutan mewek* ;'(
BalasHapusnah, kan... kan... keluar deh sisi melankolisnya :s
Hapus