Lelaki di Ujung Tanduk

Selamat pagi menjelang siang, Thomas.

Izinkan aku bertanya lebih dulu, bukan sekadar untuk basa-basi, tapi karena bagiku memang perlu adanya untuk menanyakan kabarmu. Sehat kah? Aku, tentu saja, berharap kamu dalam dilingkupi keadaan dengan label baik. Dimana pun kamu berada, baik di Hongkong, Jakarta, atau Denpasar, berbaik-baiklah menjaga dirimu sendiri.

Thomas, aku sungguh ingin tahu, bagaimana rasanya tiba-tiba jadi buronan internasional? Seberapa terpacunya debar jantungmu? Seberapa menggelegaknya adrenalinmu?

Aku, entahlah, tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jadi kamu. Aku, seorang yang (agak) gampang panik dan susah untuk diajak serius, rasanya sama sekali tidak akan punya daya upaya seperti yang kamu lakukan. Lolos dari polisi anti teror Hongkong, naik gondola bersama Maryam ketika keadaanmu mulai terendus satuan polisi di kantor tempatmu bekerja, kabur dari rumah sakit atas dugaan sakit perut karena keracunan makanan di penjara, semuanya! Kamu berhasil membuat debar jantungku meningkat dan pupilku membesar karena terlalu tegang mengamati caramu. Astaga, aku sama sekali kesulitan membayangkan kalau aku ada di posisimu! Atas segala usaha dan keberhasilanmu, aku angkat topi dan mengacungkan dua buah jempolku untukmu. Kamu sungguh brilian.

Apa kabar Opa? Sudahkah kamu mempertemukan beliau dengan sahabat masa mudanya? Seperti apa ceritanya? Aku membayangkan mereka akan larut dalam tangis haru dan pelukan erat setelah 60 tahun tidak saling bertatap muka. Lalu setelah tangis reda, mereka akan melebur segala cerita, baik itu cerita masa lalu atau cerita setelah mereka berpisah. Ah, pertemuan memang selalu menyenangkan. Setujukah kamu?

Thomas,

Sejujurnya, aku cukup tertampar dengan segala ceritamu, terutama tentang dunia hukum yang kamu ceritakan. Ah, kita tidak perlu saling menutupi bagaimana dunia hukum kita saat ini, karena itu sudah jadi rahasia umum. Sedikit informasi untukmu, aku pun menetas dari telur berlabel hukum, tapi entahlah aku pun sama mirisnya dengan mereka yang awam. Segala hal negatif, bisa dengan mudah menjadi positif, asal kamu punya kekuatan. Begitu pula sebaliknya. Menyedihkan, bukan?

Tapi, marilah kita (setidaknya) berusaha untuk berpikiran positif. Bahwa tidak semua warga dunia hukum itu berperilaku sama dengan mereka yang pernah kamu temui dan hadapi. Bahwa masih ada mereka yang memegang teguh sumpah dan etika profesinya. Rudi, contohnya. Aku tahu itu sulit, tapi tidak ada yang salah dengan mencoba berpikir positif, kan?

Tapi di atas segala ceritamu, aku bisa memetik satu kesimpulan. Apa pun niat dan usahamu, selama itu baik, berusahalah untuk tetap menjalani semuanya. Di depan memang banyak rintangan menghadang, yang dengan atau tanpa sengaja datang, tapi jalan keluar dan hasil akhir yang indah selalu memelukmu tepat pada waktunya.

Thomas, terima kasih. Untuk segalanya.

24.02.2014
P.S.:
1. Sampaikan salamku untuk Om Liem. Semoga orang tua itu segera bertemu dengan Tante Liem. Memulihkan orang sakit dengan cinta itu sungguh punya hasil yang jauh lebih baik dari sekadar obat-obatan.
2. Psstt, aku rasa tidak ada salahnya kalau kamu mulai melakukan pendekatan pada Maryam.


*Thomas, Negeri di Ujung Tanduk – Tere Liye

Komentar

  1. Aku belum sempat baca satupun karyanya Tere Liye. :(

    BalasHapus
  2. coba baca satu, deh. menurutku, dia bisa putar aduk perasaan banget. :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer