Liburan Tak Terlupakan
CATATAN:
Sebelum
lanjut membaca, saya beritahu kalau ini bukan cerita perjalanan atau
semacamnya. Tidak akan ditemukan deskripsi soal liburan. Jadi, kalau berharap
cerita menarik soal liburan, sebaiknya segera berhenti membaca tulisan ini
sesegera mungkin.
Sekitar akhir bulan Agustus 2014, salah
satu keponakan saya, Riesna, tiba-tiba mengajak untuk ikut rencana liburannya,
tanggal 12 – 14 September 2014. Tujuannya Batu, kota yang notabene sudah sering
saya kunjungi. Berhubung saya merasa butuh liburan, tawaran itu diterima. Rencana
demi rencana dibuat sedemikian rupa. Penginapan, transportasi, tujuan wisata,
semuanya. Hal yang sama-sama kami rasakan cuma satu, “PENGEN CEPET TANGGAL
12!!!”
Tapi ternyata… perjalanan ini, ditakdirkan
jadi salah satu perjalanan yang tidak mungkin saya lupakan.
Singkat cerita, kami akhirnya bertemu dan
memulai liburan. Setelah sempat makan siang, mempersilakan para lelaki salat
Jumat, dapat penginapan di Songgoriti, bersih-bersih badan, Museum Angkut jadi
tujuan pertama. Selepas dari sana, kami meluncur ke alun-alun kota Batu.
Saya lupa jam berapa persisnya kami kembali
ke penginapan, yang jelas, kondisi badan kami sudah cukup lelah. Tidak memakan
waktu lama bagi kami untuk dipeluk mimpi.
Sesuatu yang mengejutkan itu datang sekitar
pukul tiga dini hari. Telepon dari Mama, mengabarkan kalau Budhe (kakak Mama)
yang ada di Lawang, mengalami pingsan dan kejang-kejang. Jarak Lawang – Batu sebenarnya
tidak terlalu jauh, hanya saja telepon dini hari yang diterima ketika belum
sadar sepenuhnya, membuat saya hanya sebatas lalu mendengar kabar.
Saya tidak menghitung waktu, tapi tidak
lama kemudian, telepon kembali berbunyi. Mama.
“Ini
Mama baru aja dikabari lagi, Budhe meninggal. Ini Mama siap-siap berangkat. Nggak
tau gimana caranya, kamu harus ke Lawang!”
Inna
lillahi wa inna illaihi ra’jiun.
Saya terenyak. Tidak membayangkan liburan
bisa jadi seperti ini. Saya bukannya tidak berduka, sekalipun saya memang tidak
terlalu dekat dengan Budhe, tapi yang segera saya pikirkan hanya bagaimana
caranya saya bisa segera pergi ke Lawang.
Riesna yang kebetulan ikut terbangun,
segera saya ajak bicara. Saya sempat berpikiran untuk naik angkot, tapi
mengingat Batu adalah kota yang sulit kendaraan umum, saya memutuskan untuk
naik taksi. Apapun itu, yang penting bisa segera sampai di Lawang.
Sekitar pukul tujuh, kami, saya dan abang,
diantarkan ke alun-alun Batu dan dengan mudah menemukan taksi yang mau memakai
argo. Perjalanan yang biasanya bisa terasa cepat, kali ini terasa lama. Iya,
terburu-buru memang membuat waktu terasa lebih lama.
Tepat ketika saya sudah di daerah Pasar
Lawang, adik saya menelepon, menanyakan di mana posisi saya. Tujuan dia
bertanya, karena kain kafan akan segera ditutup dan diikat. Jujur, saya langsung
tercekat dan memohon untuk tidak ditutup dulu. Selain karena jarak sudah dekat,
saya ingin melihat Budhe untuk terakhir kalinya, sebelum dibawa ke Bondowoso
untuk dimakamkan.
Di rumah jenazah, saya pilu mendapati mobil
ambulans sudah siap di depan rumah. Tidak banyak orang di sana. Saya buru-buru
masuk, menyempatkan ke kamar mandi, dan segera ke ruang tengah. Tempat Budhe
terbujur.
Begitu kain kafan penutup muka terbuka,
saya sungguh mati-matian menahan air mata untuk tidak jatuh mengenai beliau.
Raut mukanya sungguh tenang. Walaupun saya tidak melihat sebuah senyuman, bagi
saya, Budhe tampak siap menghadapi kematian. Kembali ke pelukan Illahi, ke
pelukan orang tuanya yang sudah pergi lebih dulu. Kulitnya mulai dingin. Yang bisa
saya lakukan hanya mengirim doa dan mencium pipi juga keningnya beberapa kali.
Tidak lama kemudian, Mama akhirnya menutup dan mengikat kain kafan yang
membungkus Budhe, dan segera membawa beliau untuk “pulang” ke rumahnya.
Budhe adalah salah satu anggota keluarga saya
yang tidak menikah. Dia tinggal di Lawang dengan seorang kenalan baiknya,
karena dia yang memilih begitu. Saya tidak pernah tahu apa alasan beliau yang
memilih tidak menikah, karena saya tidak pernah punya niat untuk mempertanyakan.
Waktu saya diam sambil melihat muka Budhe
untuk terakhir kalinya itulah, pemikiran ini muncul. Tentang kesendirian.
Seumur hidupnya, Budhe “hidup” sendiri. Tanpa keluarganya sendiri (suami-anak).
Saya memang tidak tahu terlalu jauh, tapi saya melihat Budhe baik-baik saja.
Bahagia dengan hidupnya.
Melihat dan memikirkan hal tadi, membuat
saya semakin merasa bahwa seharusnya tidak ada yang perlu ditakutkan dengan
kesendirian. Saya tidak menutup diri kalau saya kerap sekali memiliki perasaan takut
menikah. Walau tanpa disengaja, saya takut kalau tidak bisa membahagiakan,
takut mengecewakan, takut menyakiti, juga ketakutan-ketakutan yang lain.
Pikiran saya sering penuh hanya gara-gara ketakutan itu sendiri.
Saat ini, saya memang sedang memiliki
pendamping. Tapi kepada dia pun, saya seringkali “mengingatkan” dan
memperbolehkan untuk pergi ketika nantinya dia merasa ingin menikah, dan saya masih
saja berkutat dengan perasaan takut yang tidak berkesudahan. Seseorang pernah
mengingatkan saya tentang “menikah itu sunah Rasul”. Saya tahu, tapi bukankah
masih banyak sunah Rasul lain yang bisa saya lakukan? Apa jadinya kalau saya
mengikuti sunah Rasul itu (menikah) dan ternyata saya tidak bisa melakukan
sunah berikutnya dengan baik?
Menikah atau tidak, itu juga sebuah
pilihan, kan? Andai akhirnya saya menikah, bisa saja itu karena saya memang sudah siap atau ada seorang lelaki yang benar-benar bisa meyakinkan saya untuk menikah.
Pada akhirnya, meninggalnya Budhe membawa
ingatan tentang cuitan di twitter beberapa hari yang lalu.
Mungkin, itu sebuah pertanda. Mungkin saja.
Entahlah.
_____
15.09.2014
Komentar
Posting Komentar