[Prompt #43] Saran Ida
Anak
perempuan itu belum juga berhenti menangis. Makin lama, makin
histeris. Nyaris semua mainan yang dia punya, dilemparkan dengan
tenaganya yang tersisa ke segala arah.
Di
sudut ruangan, Ibunya meratap pilu. Bukan, dia bukannya tidak
berusaha menenangkan anaknya. Hatinya pilu melihat ratapan anaknya
yang makin lama makin menjadi. Seharusnya, dia tidak menghadapi ini
sendirian. Seharusnya, suaminya tahu betapa dia, bahkan anaknya
membutuhkan kehadirannya. Seharusnya…
Sebuah
boneka kelinci warna merah muda dilemparkan anaknya dan mengenai
kakinya. Naluri keibuannya membuatnya mendekati anaknya, lalu
mendekapnya.
“Kenapa,
Nak?”
“Ayah…
Ayaaahhhhh…”
“Ssttt…
iya, nanti Ayah pulang. Bawa mainan.”
“Ndak
mau mainan. Mau Ayaaahhhhh…”
Satu
pukulan telak dirasakan perempuan itu di ulu hatinya. Dia sudah
kehabisan alasan untuk membujuk anak semata wayangnya. Suaminya entah
ada di mana. Bahkan, dia juga tidak tahu apa suaminya masih hidup
atau tidak.
Sudah
tiga tahun, suaminya pergi. Dulu, sang suami berpamitan mencari
nafkah yang lebih baik ke kota. Harga segala kebutuhan makin mahal.
Dengan berbagai macam pergolakan batin, dia akhirnya merelakan
suaminya pergi ke kota.
Satu
tahun pertama, suaminya masih rutin mengirim surat dan uang dengan
jumlah yang cukup. Kehidupan dan kondisi keuangannya mulai membaik.
Setidaknya, dia tidak perlu terlalu pusing memikirkan apa yang akan
dimakan oleh anaknya keesokan hari, walaupun dengan menu yang
sederhana. Dia juga mengumpulkan uang untuk membuka sebuah toko
mungil di rumahnya.
Tahun
kedua, kiriman mulai tersendat. Kadang bisa dua atau tiga bulan
sekali. Jumlah kirimannya memang tidak berkurang, justru semakin
banyak. Tapi berita yang datangnya tidak tepat waktu, selalu membuat
hati cemas. Berulang kali dia menanyakan lewat surat, tidak pernah
mendapat jawaban yang memuaskan.
Tahun
ketiga, kabar semakin hilang. Hanya ada satu kali kiriman uang dalam
jumlah yang cukup banyak, dengan surat yang singkat. Dia bahkan tidak
lagi menulis kerinduan pada anak-istrinya.
Abang
pindah kerja ke tempat yang lebih jauh dari tempat tinggal Abang.
Pulang kerja, sudah capek. Buru-buru tidur, jadi sering lupa kasih
kabar. Kerjaan Abang juga makin banyak, jadi makin sulit tulis surat.
Yang jelas, Abang baik-baik aja. Dan maaf, kalau Abang belum juga
bisa pulang ke desa. Nanti Abang pulang kalau sudah ada waktu.
Mungkin Lebaran tahun depan.
Isi
surat terakhir suaminya, sudah dia baca berulang kali. Kertasnya
mulai kumal. Usahanya mencari sesuatu mungkin yang tersirat, hanya
sebuah cara yang sia-sia. Dia bukannya tidak pernah berusaha mencari
suaminya. Entah berapa kali dia mengirimi surat, tapi nihil. Suaminya
bak hilang ditelan bumi. Harapan kian tipis, bahkan mendekati kata
habis.
“Sudah
mau Lebaran keempat... Abang belum juga pulang. Ah udahlah, mending nurut apa kata Ida aja.”
“Mbak,
mbok yo wis move
on aja.
Ngapain nungguin orang nggak jelas gitu. Ini udah lewat tiga kali
puasa, tiga kali lebaran, Bang Toyib ya tetep nggak pulang-pulang.
Nurut apa kata Ida. Lagian itu tuh, Bang Robi udah kebelet banget
pengen nikahin Mbak…”
**
Tiga
kali puasa, tiga kali lebaran
Abang
tak pulang-pulang, sepucuk surat tak datang
(Ade
Irma - Bang Toyib )
_____
22.03.2014
*
461 kata, tidak termasuk catatan kaki, petikan lirik lagu, dan judul.
Hihihi ada ada aja nih idenya...
BalasHapushehehehe, ini idenya juga muncul pas bangun tidur
HapusHehehe jadi lucu baca endingnya,,, bang toyib bang toyib,pulang dong :D
BalasHapuslah, jangan... ga usah pulang, biar nikah aja sama Bang Robi, hehehe
HapusMakasih udah mampir, Kak.
ternyata tentang bang toyib ya? hehe.
BalasHapusjadi gini, ini ceritanya tahun berapa sih? 90-an? kok masih maen surat-suratan? :)
lalu, nggak dijelasin juga usia anaknya berapa. maksudnya gini: jika si ayah pergi saat anaknya batita misalnya, kenangan tentang ayahnya akan memudar. dia tidak terlalu ingat, kan udah 3 tahun berlalu.
lalu jika anaknya berusia di atas lima tahun -katakanlah- maka saat cerita berlangsung usianya minimal 8 tahun. masih cocok lah jika diceritain dia tantrum, ngamuk kangen bapak. :)
satu lagi, imaji awal sih ini cerita sedih, eeeh.. nggak tahunya...
good job! :)
sengaja dibuat setting jaman HP masih barang mahal, jadi pake surat-suratan.
Hapustrus, si anak umurnya sekitar 5 tahunan gitu lah, yang sekiranya masih bisa inget bapaknya walopun udah ditinggal tiga tahun berlalu. usia 5 tahun kan masih usia suka main dan udah bisa ngamuk gara-gara kangen sama ayah.
hehehe, makasih komennya, Bang Riga :D