Musim Gugur

Dear Uni,

Ada hal yang jauh lebih penting daripada memedulikan status buronanmu saat ini. Bagaimana Ibumu? Sudahkah beliau berpesta dengan kata baik? Aku berharap segera sajalah beliau sembuh dari sakitnya, agar kamu tidak terlalu lama larut dalam rasa sedih. Aku enggan melihatmu begitu.

Tapi sebenarnya, ada banyak alasan yang seharusnya bisa membuatmu tetap melengkungkan senyummu yang paling manis. Sekalipun dalam keadaan Ibumu yang kini sedang terbaring sakit. Bukan, aku bukannya berharap sebuah kesusahan untukmu, tapi hanya ingin mengingatkanmu tentang sesuatu. Yang mungkin saja kamu lupa, atau mungkin kamu ingat, tapi tidak dipahami sepenuh hati.

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosa seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya.”
(HR. Bukhari no. 5660 dan Muslim no. 2571)

Aku tidak melarangmu untuk bersedih, tapi aku berharap ada sebuah ruang di hatimu yang sudi “bersuka cita” atas penyakit Ibumu. Karena dengan penyakitnya, Allah sedang bekerja untuk memberikan sebuah musim gugur atas dosa-dosa beliau. Mendekatkan langkah beliau pada surga. Bukankah itu berita yang “menggembirakan”?

Senyumlah, Uni… aku sungguh sedih melihatmu terus sedih begini.

Ngomong-ngomong, aku tersenyum membaca ceritamu tentang si Bawal. Kisah yang menarik. Kamu benar, hewan itu sungguh peka dengan keadaan tuannya. Apa pun itu. Sedih atau senang. Tidak sedikit aku menemukan cerita tentang “pertolongan” hewan seperti itu. Membacanya, selalu menimbulkan sebuah perasaan sendu buatku.

Izinkan aku bercerita sedikit tentang Belang, kucingku yang nyaris berumur 12 tahun. Bagi orang lain, dia hanya seekor kucing. Tapi sayangnya, dia bukan “hanya seekor kucing”. Dia selalu bisa tahu dan paham bagaimana perasaanku.

Dia akan menabrak dan duduk di sebelah kakiku, ketika aku duduk dan menangisi sesuatu. Dia akan datang dan mengeong dengan cukup kencang, ketika aku sedang marah dan meninggikan suaraku, seakan dia ingin berkata “jangan marah. Tenang saja, semua akan baik-baik saja.” Dan ketika aku bahagia, dia seringkali mendatangiku, lalu duduk manis dengan ekor dilipat di depanku. Dia selalu ada, dan tahu bagaimana cara menemaniku.

Aku selalu sebal setiap kali mendengar perkataan orang lain yang menganggap hewan itu tidak punya perasaan sama sekali. Tidak. Bagiku, hewan punya perasaan, dengan cara mereka sendiri. Setujukah kamu?

Uni, mengenai buronan, aku tahu bagaimana rasanya dikejar-kejar banyak orang dan bosan menjelaskan alasan kepada mereka, satu per satu. Tapi bagiku, keputusanmu untuk sembunyi dari segalanya itu tidak baik. Tidakkah kamu ingin mencoba melihat dari sisi lain, bahwa jika mereka mencarimu, itu pertanda kalau mereka khawatir dan peduli denganmu?

Alih-alih menyebutmu buronan, aku lebih memilih kamu sedang berjuang layaknya pahlawan. Iya, kamu sedang berjuang demi Ibumu, menemani dan mendoakan beliau. Buatku, itu hal yang manis. Terdengar heroik. Buronan terdengar buruk. Penjara sudah cukup penuh, aku tidak mau jadi semakin penuh dengan kamu di dalamnya.

Tapi aku bersyukur karena di akhir suratmu tertulis kalau kamu baik-baik saja. Tenang saja, kabarku sedang amat baik, sekalipun hujan nyaris datang setiap sore di kotaku.

Suratku sudah terlalu panjang. Aku khawatir kamu jadi bosan membacanya.

Tersenyumlah di tempat persembunyianmu, di manapun kamu berada. Biarkan Allah bekerja dengan cara-Nya.


Memelukmu dari jauh,

Vanda


01.03.2014

Komentar

Postingan Populer