Kepada Perempuan,

Pagi tadi, saya kedapatan seorang ‘tamu’ yang tidak terduga. Salah satu satpam di kantor yang membawa sebuah cerita, yang tidak pernah saya harapkan untuk mendengar ceritanya. Mungkin, ini sebuah cerita biasa. Lumrah. Kerap terjadi di beberapa tempat yang saya tidak tahu ada di belahan bumi sebelah mana saja. Tapi cerita pilu, akan selalu jadi cerita pilu.

Pak Nur, satpam saya, bercerita tentang keponakan perempuannya yang besok akan menjalani sidang perceraian pertama. Suaminya menggugat cerai, entah karena apa alasannya. Pak Nur tidak menjelaskan, dan saya tidak sampai hati menanyakan. Pasangan suami istri itu sudah punya satu orang anak, berumur satu tahun. Usia yang sama sekali belum tahu apa-apa soal cerai. Rentang usia amat butuh kasih sayang orang tua.

Ceritanya tidak sesederhana itu. Ketika si suami mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama, dia dengan mudahnya mengelabui istrinya dengan meminjam buku nikah istri. Alasannya? Si suami butuh itu untuk melamar pekerjaan. Konyol? Bisa jadi. Sejak kapan melamar pekerjaan perlu buku nikah istri? Entahlah. Dan sedihnya, si istri tidak punya firasat apa pun, dan dengan mudahnya memberikan buku nikahnya pada sang suami.

Gugatan akhirnya terdaftar. Di sini, kuasa sang suami belum juga berhenti. Dia mengancam si istri untuk tidak datang ke persidangan. Kalau sampai datang, si suami akan menyewa pengacara dan hak asuh anak akan diambil oleh suami.

Sampai di cerita itu, saya mengernyitkan dahi. Ancaman macam apa itu? Konyol! Kenapa? Karena hak asuh anak di bawah usia 12 tahun itu ada pada ibunya (Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam). Oke, mungkin si istri tidak tahu perihal aturan itu, tapi ayolah, sejak kapan jatuhnya hak asuh anak ditentukan dari datang atau tidaknya sang ibu?

Cerita lanjutan Pak Nur membuat saya makin pilu. Keponakannya ini, tidak punya kemampuan hidup mandiri yang mumpuni. Lulus SMA langsung menikah. Semua hanya karena saling cinta, dan mengambil keputusan cepat untuk segera menikah. Saya tidak menyalahkan pernikahannya, tapi keputusan untuk segera menikah sebelum bisa hidup mandiri. Entahlah, mungkin mereka punya sudut pandang yang lain. Dan untuk itu, saya tidak bisa memaksakan pendapat saya.

Perempuan, ayolah!
Tidak ada yang salah dengan mencintai seseorang, dan menjadikan dia sebagai pasangan halalmu. Tapi jangan semata-mata ‘mudah’ menjatuhkan pilihan pada hati yang sedang berbunga. Banyak akal sehat yang seharusnya bisa diselamatkan demi masa depanmu. Saya tidak mengajarimu untuk menjadi ‘lebih’ di hadapan laki-laki. Tapi kamu pun punya kendali untuk hidupmu sendiri. Menikah tidak berarti memutus langkahmu untuk maju. Menikah bukan berarti harus menggantungkan hidupmu sepenuhnya pada pasanganmu. Memang, tidak ada yang salah dengan itu. Tapi coba buka pikiranmu lebih luas. Lebih lapang. Ini bukan perkara siapa yang akan jadi lebih dominan. Tapi dengan hidup yang kamu punya, kamu pun punya hak untuk tetap maju dan hidup mandiri. Dan kamu pun tetap berhak untuk tetap berdiri di atas kakimu sendiri.

_____
19.03.2014
di tengah amukan rasa pilu.

Komentar

Postingan Populer