Khilaf

private collection of @vanroem

Laki-laki itu tampak duduk di sebuah bangku di tepi jalan masuk menuju kompleks perumahan tempat tinggalku. Ia tampak gelisah; sesekali menebar pandangan ke sekelilingnya, sesekali ke arlojinya, sesekali ke matahari yang tengah terbenam. Ketika mentari telah terbenam sempurna, ia beranjak, berjalan menjauh, dengan pundak yang lunglai, menunduk.

Ia seperti tengah menantikan seseorang.

Senja ini, ia datang lagi. Di bangku yang sama, pada waktu yang sama, dengan gerak-gerik yang sama. Ia pun berlalu, dengan kekecewaan yang sama: menantikan orang yang sama, yang tak kunjung memenuhi janjinya.

Satu bulan berlalu, tak satu kali pun ia absen dari rutinitasnya. Semuanya sama; bahkan pakaiannya.

Hari ini, hari keempat puluh, aku memberanikan diri untuk keluar dari tempat persembunyianku, tempatku selama ini mengamatinya.

“Kamu… akhirnya kamu datang. Kenapa baru sekarang? Kita tak punya banyak waktu…”

“Aku tak mau menghabiskan banyak waktu denganmu,” tukasku ketus.

“Maafkan aku,” katanya sambil mendekat, “aku khilaf.” Dirabanya leherku yang biru, bekas cekikannya.

“Aku, pun.”

Ia memelukku, erat. Tubuhnya perlahan menghilang, meninggalkan noda darah bekas tusukan pisauku di dadanya di pakaianku.

Lalu aku pun sirna.

_____
19 Maret 2014
* 173 kata, tidak termasuk judul dan catatan kaki, yang berarti 17 Maret.
* ditulis tanggal 18 Maret 2014 oleh Daniel Prasatyo @daprast, sebagai sebuah hadiah ulang tahun (hasil nodong). Tema dari foto koleksi pribadi  milik @vanroem.

Komentar

Postingan Populer