Aubrey...



"Mereka ga tau gimana rasanya jadi aku..!"


Ah, lagi-lagi Aubrey marah. Emosinya yang naik turun terlihat jelas dari intonasi nada bicaranya. Memang...tidak ada yang melarang wanita cantik ini untuk marah. Apalagi kali ini, muncul lagi pihak-pihak yang tidak memahami posisinya, perasaannya, luka hatinya. Hey honey, please don't be like this...


Yahh...sore ini, aku berjanji pada Aubrey, sahabat masa kecilku, untuk bertemu di salah satu tempat makan fast food di kota tempat kami tinggal. Tepat jam 4 sore, kami akhirnya bertatap muka. Dia terlihat cantik hari ini, dengan kemeja biru muda dibalut cardigan warna putih, blue jeans favoritnya, white flat shoes juga tas selempang mungil warna hitam. Setelah memesan hot cappucino untuknya dan hot chocolate untukku, kami memilih satu meja di sudut ruangan, yang bagi kami cukup nyaman untuk saling bercerita tentang kisah yang kami punya.




Tentang kisahnya kali ini....aku tau, dia sudah cukup lama memendam perasaan luka di hatinya. Kisah yang sudah dia rasakan dan disimpan rapi sejak kecil, yang akhirnya berdampak amat besar bagi dirinya. Perih, itu kata yang sederhana tapi paling pas menggambarkan perasaannya.


Aubrey nyaris kehilangan sosok yang memberinya genetik dalam tubuhnya. Ayahnya. Yah, nyaris saja. Karena bagi Aubrey, sosok itu seakan-akan sudah pergi dari kehidupannya sekalipun dia masih rutin menemui ayahnya. Ayahnya memutuskan untuk pergi ke kehidupan lain, demi merajut kisah baru bersama sosok wanita lain, dan wanita itu bukan ibunya. Yang dia rasakan kini...tidak ada lagi kasih sayang. Tidak ada lagi perhatian. Dukungan. Harapan. Bahkan sekedar ucapan selamat ulang tahun, sudah tidak pernah lagi dia rasakan. Seakan-akan, tidak ada lagi cinta untuknya.


Aubrey masih lincah dalam kata-katanya dan bercerita tanpa henti kepadaku. Tanpa jeda. Sesekali, aku bisa melihat perubahan drastis dari pandangan matanya. Sesekali menahan marah, tapi terkadang berubah melembut ketika dia bercerita tentang kisah masa kecilnya dengan ayahnya. Dia tersenyum manis saat selesai bercerita tentang masa kecilnya di hari Minggu pagi, ketika ayahnya mengangkat tubuhnya tinggi lalu menaruhnya di pundak. Sesekali pandangannya menerawang, berusaha menembus ruang dan waktu hanya demi menyesap manisnya kenangan masa kecilnya yang bahagia.


Dia pun aktif bercerita tentang hari ketika dia merayakan bertambahnya umurnya. Ketika dia sibuk menghitung berapa banyaknya kado yang dia terima. Ketika hari itu, seakan-akan dia menjadi ratu kecil yang amat sangat dibanggakan oleh ayahnya. Ketika segalanya amat sangat indah walaupun itu hanya setahun sekali. Namun kenyataan yang dia temui saat ini, segalanya telah berubah, semuanya kini berbanding terbalik.


Dia masih melanjutkan ceritanya. Tentang komentar juga pendapat orang-orang di sekitarnya yang seakan menghujat juga menghakiminya, hanya karena hubungan dengan ayahnya yang semakin renggang. Bagiku, Aubrey berhak marah. Aubrey tidak bisa memilih dari orang tua mana dia ingin dilahirkan kan? Mereka tidak tahu, bagaimana rasanya jadi Aubrey.....


Aku merasa kini dia sudah semakin telak terperangkap. Terperangkap dalam hal-hal yang tidak pernah dia lakukan. Terperangkap dalam keputusan hidup ayahnya yang selalu menghantui perasaannya. Terperangkap dalam memorinya sendiri. Memori yang membuatnya sendu. Membuatnya rindu untuk kembali ke masa lalu. Mengilhaminya untuk meneteskan air mata atas nama kerinduannya.....


Aku benci melihatnya menangis. Aku benci air mata.....

Di akhir pertemuan kami, dengan lirih Aubrey berkata...
"Aku ga nuntut semua orang buat peduli ke aku kok, enggak sama sekali. Aku udah terbiasa hidup kayak gini. Aku cuma berharap ke mereka-mereka yang ga pernah berhenti menghujat dan menilai buruk tentang aku, mengertilah... Coba bayangkan kalau kalian ada di posisiku, kalian pasti sadar betapa sulitnya jadi aku... Just that!"

Dear Aubrey sayang, semoga kau bisa memaknai lagu ini. Untuk semua memori manis tentang masa kecilmu......






Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer