Sendu dari Lantai 10
Senja di Surabaya terlihat lebih menarik, ketika kami melihatnya dari roof top lantai 10 di gedung tempat kami mencari nafkah, rejeki Tuhan. Pemandangannya memang biasa saja. Deretan rumah yang berhimpit rapat dengan beberapa hiasan jemuran di beranda depan, tatanan gedung tinggi menjulang di segala arah mata memandang, juga beberapa masjid dengan tembok yang sengaja diberi warna-warna yang berbeda. Desau suara angin berbisik lamat-lamat, rajin menyapa. Sesekali, kami melihat beberapa layang-layang memeluk angin erat-erat, berusaha keras untuk terbang lebih tinggi.
"Haaaahhhhh....," hembusan nafas panjangnya seakan membuka percakapan kami.
Aku menoleh perlahan. "Kenapa? Masih sesak di hatimu? Masih merindukan wanita terindahmu?"
"Hmm," dia tersenyum sumbang, "tidak ada yang lebih menggairahkan dibanding patah hati di akhir tahun, kan?"
Kami terdiam lagi. Seakan saling paham bahwa ada luka yang patut ditoleransi untuk diberi waktu untuk menyembuhkan diri. Sedikit demi sedikit. Hingga nanti, berharap akhirnya larut dalam tiap air mata yang selalu muncul deras dalam diam atau bahkan hilang sama sekali lewat angin yang sudi membawanya lari.
Aku menggeleng perlahan, tidak paham dengan jalan pikirannya. "Apa ada lagi yang harus diingat tentang dia, selain sudah membuatmu luka? Menawarkan hatinya ketika ada kesempatan, lalu dengan kejam merampas kebahagiaanmu ketika dia tidak lagi punya waktu buatmu."
Dia enggan menjawab. Pandangannya yang berbicara. Melompat ke kenangan masa lalu, saat dia berbagi segala tawa tangis, pun suka duka, dengan wanita yang kini hanya sanggup dia sebut namanya dalam diam. Aku mungkin tidak terlalu tahu, tapi aku berani menebak, luka hatinya semakin dalam. Pilu. Sendu. Dan akhirnya, seperti kejadian yang lalu, air matanya selalu datang lalu memilih jatuh tanpa permisi.
"Berapa banyak tetes air mata lagi, yang sudi kamu hamburkan? Dia toh sudah memilih pergi, lalu nanti dengan pasti akan melupakanmu, berbahagia dengan laki-laki pilihannya. Kamu bisa apa? Kamu bukan lagi siapa-siapa buatnya. Ini sudah di garis akhir. Harusnya kamu mulai belajar melupakan dia."
Dia menggeleng kuat. Menolak segala kata-kataku dengan hebat.
"Kamu toh tidak pernah tahu, bagaimana dia sudah mewarnai hariku dengan semangatnya, segala dukungannya, senyum tangisnya, juga canda tawanya, kan? Aku mencintainya! Oke, mungkin dia memang jahat, karena pergi dengan cara seperti ini, tapi apapun itu, dia tetap salah satu wanita terbaik yang pernah ada di hidupku. Dan kamu, jangan sekali-sekali mendikteku. Aku muak dengan segala pola pikir yang kamu ajukan tanpa henti. Kamu cukup diam dalam otak kiriku, menjaga agar aku tetap waras dan biarkan aku berkelana dengan segala kenangan-kenangannya, dengan otak kananku!"
Senyap. Hanya suara tangisnya yang menemani, menghabiskan detik demi detik dengan pasti.
Gelap mulai meraja dan senja terlihat turun makin cepat dari lantai 10. Beriringan pergi meninggalkan seorang lelaki yang belum berhenti berperang dengan pikiran-pikirannya sendiri. Pun dengan kenangan-kenangannya.
What am I supposed to do when the best part of me was always you?
And what am I supposed to say when I'm all chocked up and you're ok?
I'm falling to pieces, yeah, I'm falling to pieces
The Script - Breakeven
17.12.2012
Komentar
Posting Komentar