Sebingkai Cerita Ketika Mendung Kelabu

Mendung selalu mampu membawa sebuah cerita untuk dibingkai. Cerita apapun itu, sedih atau senang. Mendung seakan mengerti bahwa dia punya daya tarik untuk menelurkan cerita-cerita baru. Mendung kelabu (nyaris sering) membuat segalanya sendu, lalu tumpah ruah dalam rindu menggebu.

Siang ini pun sama adanya. Sebuah cerita baru siap dilahirkan, tepat saat mendung menggelayut dengan mesra. Gerimis sudi menemani, lalu akhirnya membiarkan semesta menentukan, mana cerita layak dikenang dan mana yang layak disesali...


"Besok siang aku berangkat." ujar laki-laki di hadapanku.

Pilu. Seakan palu godam menghantam dengan sempurna.

"Kapan pulang?"

"Belum pasti, kemungkinan cukup lama. Aku pergi juga demi kebaikanmu, biar kamu bisa benci, terus akhirnya lupa aku. Kalau aku tetap di sini, yang ada cuma menyakitimu, lagi dan lagi."

"Kamu bukan Tuhan, kan? Kenapa justru kamu yang merasa berhak menentukan ini demi kebaikan atau keburukanku," aku diam sesaat, "kamu pergi demi perempuan itu, kan?"

Dia terdiam, akhirnya mengangguk perlahan. "Salah satunya. Karena cuma dia yang bisa menerimaku apa adanya."

"Kamu serius? Apa kamu sadar dengan kata-katamu?"

Anggukannya jadi jawaban yang telak. Dan seperti biasa, air mata pun jatuh tanpa permisi. Melebur jadi satu dengan sekumpulan awan yang makin giat meneteskan rintiknya. Menerimamu apa adanya? Lantas, apa artinya yang aku lakukan selama ini buatmu? Segala usahaku memahamimu. Setiap detik yang aku lewatkan untuk mendengar keluh kesahmu. Secuil ide untuk kesulitanmu. Sebersit kata-kata bijak demi mengingatkanmu untuk tetap rendah hati. Tidakkah itu pernah berarti buatmu?

Dan ah, betapa kamu tidak pernah tahu seberapa besar perasaan tersimpan buatmu di rumah hatiku. Rumah yang aku buat khusus untukmu, yang ternyata tidak akan pernah menjadi rumahmu juga. Ada luka tak kasat mata yang kian tumbuh subur. Sakit untuk tetap mencintai atau sakit untuk melepasmu pergi? Entah, aku tak mampu memikirkannya lagi.

Bahuku belum berhenti berguncang, larut dalam irama tangis yang sulit diredam. Otakku berlarian, mencari jawaban tepat. Tapi, jawaban macam apa yang bisa aku beri, sedangkan aku pun masih kesulitan membunuh perasaanku? 

"Aku bisa apa, kalau ini sudah maumu? Sekalipun aku memohon agar kamu tetap tinggal, itu sia-sia, kan? Sudah ada dia yang menantimu di sana, berharap selalu menemanimu. Dia-lah yang terpilih, begitu kan?" isakku makin sulit terbendung.

"Aku pergi demi kamu, tidakkah kamu sadar? Biar aku menghilang, jadi kamu pun bisa lupa aku sama sekali."

Aku menggeleng. "Terserah apa katamu. Aku masih menyayangimu, tapi mungkin rasa sayangku tidak pernah cukup buatmu. Aku masih mencintaimu, sampai detik ini."

"Tapi aku sudah tidak punya lagi perasaan sayang buatmu!"

"Bukankah aku tidak memaksamu untuk itu dan tadi pun, aku tidak memintamu melakukan hal yang sama, kan? Pergilah, kalau memang sudah bulat tekadmu untuk pergi. Mungkin aku memang bukan siapa-siapa dan tidak pernah berarti apa-apa buatmu. Aku tidak melarangmu pergi, jadi aku harap, kamu tidak melarangku untuk tetap menyimpan rasa buatmu."


Matanya mengerjap. Satu tarikan nafas panjang dia hela, seakan mencoba mengurai sulur-sulur benang yang menggumpal dan mengikat hatinya terlalu erat. Perlahan, dia mengangkat tangannya demi menghapus air mataku dan menggenggam erat kedua tanganku. Aku balas menggenggamnya, tapi entahlah, baik usapan tangannya di pipiku maupun genggamannya, tidak lagi berasa istimewa seperti dulu. Sekarang terasa perih. Pedih. Pilu. Dan aku tidak yakin mampu melupakannya.

Akhirnya, untuk setiap cerita yang pernah terbagi dengannya, pun luka ketika harus melepaskannya, biar aku simpan sendiri tanpa perlu dia tahu. Di sini, di dalam hati, di sebuah rumah mungil yang aku ciptakan khusus untuknya.


If happy ever after did exist, I will still be holding you like this...
(Maroon 5 ft. Wiz Khalifa - Payphone)


27.12.2012

Komentar

Postingan Populer