Pada Suatu Pagi
“Malam puisi semalem pecah! Gila, yang dateng
banyak banget! Baru kali ini aku lihat bisa sebanyak ini pengunjungnya. Yang
baca puisi juga nggak habis-habis.” ujarnya dengan semangat penuh.
Aku tersenyum, sebelum menyesap kopi yang
mulai dingin, pada suatu pagi, sehari setelah semalam sebelumnya kami
mengadakan acara malam puisi di kota kami.
“Itu semalam kalau tempatnya nggak dipakai
buat nonton bareng sepakbola, mungkin kita masih bisa lanjut, deh. Ah, sayang
banget… tapi nggak masalah lah, yang penting acaranya sukses. Acaramu keren banget!”
lanjutnya.
Apa
pun itu, asal demi lihat kamu semangat terus kayak gini, aku pasti akan lakukan
semuanya.
“Kamu kok bisa, sih, buat konsep acara jadi
keren kayak gitu. Baca puisi sambil bawa lilin, trus lampunya dimatikan… ngajakin pengunjung buat puisi on the spot, yang menang dapat hadiah buku
segala. Itu konsep acaranya disiapkan berapa lama, sih?”
“Hmm… mungkin sekitar dua atau tiga
mingguan. Itu bukan murni ideku sendiri, ada masukan dari teman-teman juga.”
“Iya, sih… tapi info yang aku dapat pas
acara, konsep itu kebanyakan, ya, dari kamu. Kamu bisa dapat banyak ide dari
mana, sih?”
Ide?
Dari kamu.
“Lah, dia malah diam. Kasih tahu lah. Hitung-hitung
bagi ilmu gitu, lho. Aku, kan, juga kepingin bisa sukses buat acara. Dari mulai
cari ide, bikin konsep, sampai bisa sukses pas eksekusi. Ajarin, ya!” ujarnya
sambil menarik-narik jari telunjukku.
Aku mengangguk. Iya, apa pun demi kamu, aku bakal lakukan. Apa pun. Demi kamu.
“Sebentar, aku ingat sesuatu. Puisimu! Apa judulnya,
perempuanku? ‘Kamu adalah wujud nyata dari puisiku. Aku mencintaimu1.’ Ciyeee… puitis amat
puisinya. Buat siapa tuh?”
Aku tersedak kopi yang sedang dalam
perjalanan ke kerongkongan. Astaga,
bagaimana bisa dia masih ingat dengan jelas bait terakhir puisiku? “Hmm…
buat siapa? Enaknya siapa, ya? Hahaha, rahasia dong!”
“Ih, main rahasia segala. Aku sering, lho, baca
puisi-puisi di blogmu. Kayaknya hampir semua puisimu ditujukan buat perempuan
yang sama, dan kamu kayak sudah kenal banget sama dia. Kamu hafal ekspresi
wajahnya, kondisi hatinya, apa yang dia suka atau benci, semuanya! Dia siapa,
sih? Kok bisa sampai kamu jatuhi cinta sebegitu banyaknya dari kamu? Kasih tahu,
dong!”
Aku hanya menggeleng sambil menertawakan
pertanyaannya. Tidak, dia tidak boleh
tahu kalau puisi-puisi itu tentang dia. Semuanya. Lebih jelasnya, dia tidak
boleh tahu kalau aku mencintainya.
Suara Sam Smith menyanyikan I’m Not the Only One tiba-tiba terdengar
dari telepon selulernya. Nada dering, yang setahuku, khusus dia pasang untuk lelakinya.
Pembicaraannya singkat saja. Hanya pemberitahuan kalau lelaki itu sudah dalam
perjalanan menuju tempat mereka menjahit baju pernikahan. Iya, perempuan yang
kucintai ini, akan menikah bulan depan.
Iseng, aku menanyakan kenapa lagu itu yang
dia pasang untuk lelakinya. Dia memberi jawaban singkat sambil berdiri dan
memanggul tasnya. “Kenapa aku pasang itu? Ya, karena aku tahu dia punya perempuan
lain. Lebih dari satu. Nggak kayak kamu yang setia sama perempuan rahasiamu,
yang sudah kamu jaga, juga simpan dalam hati entah sejak kapan.” Dia memaksakan
sebuah senyuman, sambil melambaikan tangannya padaku. “Aku balik dulu, ya.”
Kubalas lambaiannya.
Ah,
andai… andai saja aku punya nyali.
_____
07.04.2015
* 491 kata, tanpa judul dan catatan kaki
Catatan:
1 Kutipan puisi "Perempuanku" milik Akmal M Roem.
Ciyeewe, kutipannyaaaa. :3
BalasHapusAh..sebal...kenapa ga bernyali-_-
BalasHapusNgomong dong. Ngomong
BalasHapus"Sudah tahu lukaaaaa.....di dalam dadaku, kenapa kau siraaaaam dengan air garaaam..." *suara Meggy Z.
BalasHapusUdah tahu calon suaminya begitu, kok masih mau ya?
Udah romantis-romantis langsung buyar denger suara dangdut Bang Riga -___-"
Hapushahaha... ampuuuuunnnn!
Hapus