Sepiring Tape Goreng dan Kamu
“Mau
kemana?”
Aku
segera menggenggam pergelangan tangan kanannya, tepat ketika dia mendorong
kursinya dan berdiri. Aku bisa merasakan tangannya mengepal erat. Emosi tampak
jelas sedang menguasainya dengan penuh.
“Kamu
mau kemana, Sayang?” ulangku ketika tak
juga mendapat jawaban.
“Aku
mau pulang, sudah nggak ada gunanya aku di sini. Semakin cepat aku pergi,
semakin cepat kamu bisa lupa aku. Biar kamu juga bisa benci aku.”
Lupa.
Dia berharap aku bisa mudah lupa, setelah semua yang sudah kami lewati bersama.
Seakan-akan melupakannya itu semudah membalikkan telapak tangan.
Dan,
apa tadi dia bilang? Membencinya? Untuk apa? Apakah dengan membencinya, bisa
menghapus segalanya tentang dia? Lagipula, jika memang kami harus berpisah,
apakah harus diakhiri dengan kebencian?
Perlahan
tapi pasti, sebuah perih menggirisku hingga ulu hati.
“Duduklah
lagi, Sayang. Aku masih ingin bicara banyak hal sama kamu, aku juga masih
kangen. Masa kamu nggak percaya aku?”
I’ve
found everything I need
I
never wanted anymore than I can see
I
only want you to believe
Pertahanannya
mengendur, lalu menuruti permintaanku untuk duduk kembali di kursinya.
“Kalau
kamu berharap aku pergi atau menghilang dari kamu, aku akan berusaha buat itu.
Tapi kalau kamu berharap aku lupa dan bahkan benci kamu, maaf, aku nggak akan
pernah bisa buat itu.” ujarku sambil mengusap lembut telapak tangannya.
Dia
gusar. “Kenapa nggak bisa? Aku sudah nggak bisa lagi sama kamu. Aku sudah mau
nikah bulan depan. Aku sudah ninggalin kamu demi perempuan lain, harusnya kamu
bisa benci aku.”
“Karena
aku sayang kamu. Tidakkah itu cukup buatmu?”
If
it’s wrong to tell the truth
What
am I supposed to do?
All
I want to do is speak my mind
“Tapi
aku udah nggak bisa terima rasa sayangmu! Aku harus pergi…”
“Bukan
masalah kalau kamu nggak bisa terima sayangku lagi, aku nggak akan maksa untuk
itu. Tinggallah sebentar lagi, aku sedang menyiapkan satu kudapan favoritmu.
Aku mohon…”
Dia
terdiam. Melihat sikapnya mulai melunak, aku segera bangkit, lalu beranjak ke arah
dapur. Aku berniat membuat tape goreng, kudapan favoritnya sejak kecil. Adonan tepung
dengan tambahan beberapa sendok gula pasir, sudah aku siapkan sebelum dia
datang. Sekarang aku tinggal mencampur tape ke adonan itu, dan menggorengnya. Sambil
menunggu matang, aku menyempatkan membuat teh hangat, teman serasi untuk
bersanding dengan sepiring tape goreng.
Sepuluh
menit kemudian, aku kembali ke tempatnya berada, dengan sepiring tape goreng dan
segelas teh hangat. Dia mengernyit.
“Nggak
ada racunnya, kan? Aku pernah baca ada tulisanmu yang nulis soal puding cokelat dicampur potassium.” selidiknya.
“Sama
sekali ga ada racun. Kamu tenang aja. Campuran gula di adonannya sudah pas,
sesuai kesukaanmu. Setidaknya, ijinkan aku kasih masakan terakhirku, sebelum
kamu menikah. Ijinkan aku menunjukkan perasaan sayangku untuk terakhir kalinya.”
Tangannya
mengambil sebuah tape goreng, menggigit lalu mengunyah pelan-pelan. Satu gigitan
lagi, terus begitu sampai akhirnya habis. Senyuman mulai tersungging di
bibirnya.
“Enak?”
tanyaku.
“Boleh
aku habiskan? Kebetulan aku juga sudah lama nggak makan tape goreng.”
“Silahkan.
Aku malah senang kalau kamu habiskan, aku sengaja masak itu buat kamu. Aku tinggal
sebentar, aku mau beres-beres rumah,
kamu nggak kenapa-kenapa, kan?”
Aku
segera menghilang dari pandangannya, setelah dia menganggukkan kepalanya dan
mengambil sebuah tape goreng lagi. Pikiranku melayang, kembali ke masa awal
kami saling berbagi rasa sayang. Dulu, kami sulit terpisahkan. Selalu saling
mencari, ketika salah satu dari kami menghilang di antara tumpukan pekerjaan. Sebuah
telepon atau pesan singkat di pagi hari, sekadar mengingatkan untuk sarapan dan
tidak lupa untuk doa pagi, nyaris tidak pernah kami lewatkan.
Tapi
itu dulu, ketika kami belum benar-benar sadar akan besarnya perbedaan
penyebutan nama Tuhan yang kami sembah. Ketika kami masih saling bermimpi bahwa
perbedaan itu bisa kami lebur jadi satu, dengan cara yang entah apa.
Bulan
depan, dia akan menikah. Dengan wanita pilihan keluarganya, yang juga seiman
dengannya.
Hati
perempuan mana yang tidak sedih, ditinggal lelaki yang dia cintai untuk menikah
dengan wanita lain?
Lima
belas menit kemudian, aku menengok ke arah meja makan, tempatnya berada. Dia masih
di sana, dengan kondisi kepala menelungkup ke meja. Sebuah tape goreng yang
tinggal separuh, ada di lantai tak jauh dari tempatnya duduk. Dia seperti
mendadak mengantuk dan sama sekali tidak sanggup menahan matanya untuk tidak
memejam.
Aku
gemetar. Dari saku celanaku, aku mengambil sebuah bungkus plastik. Tadi ada sepuluh
butir obat CTM di situ, tapi sekarang tidak satu pun tersisa. Iya, aku
mencampur obat itu ke dalam adonan tepung, setelah sebelumnya kugerus hingga
halus.
Aku
mendekat padanya. Mengangkat kepalanya untuk rebah di sandaran kursi. Aku menatapnya
penuh kasih, mencium kening dan bibirnya perlahan, berkali-kali. Betapa aku
masih amat menyayangi laki-laki ini, tapi ah, betapa kenyataan terlalu pahit
untuk aku terima.
If
loving you with all my heart’s crime
Then
I’m guilty
Untuk
terakhir kalinya, aku memeluknya dari belakang, menangis sepuasnya di pundaknya.
Setelah membisikkan kata cinta di telinganya, aku segera mengangkat tangan
kananku yang menggenggam pisau tajam. Dengan sekali gerak, sebuah tebasan aku
layangkan ke lehernya dengan sempurna. Seluruh badanku bergetar, antara menahan
isak tangis yang makin hebat, dan gemetar karena darahnya yang mengucur deras.
Maaf, Sayang. Kalau aku sama
sekali tidak bisa memiliki hatimu, maka tidak ada seorang pun juga yang bisa memilikinya.
***
If it’s wrong to do what’s
right, then tell me about this feeling inside.
20.03.2013
Blue
- Guilty
Eaaak... pake 10 butir CTM sekarang.
BalasHapusNganu, mau sharing info boleh ya...
Lethal dose CTM adalah 20mg/kg BB. Estimasi berat badan orang dewasa rata2 (anggaplah) 50 kg. Berarti butuh 1000 mg CTM. Nah, satu butir CTM itu 4 mg. Jadi butuh 250 butir CTM, Van --"
Ya intinya, sepuluh itu kurang banyak ehehehe (--,)7 #PsikopatNdakNanggung2
ah, bu dokter ini selalu kasih masukan yang oke to the max! x)
BalasHapustapi, ya kaliii...halusin 250 butir CTM, dijamin tangan langsung gempal =))
Yaaa cari obat lain yg lebih gampang dooong... Atau dibekep pake karbonmonoksida belum pernah jadi cerita, nih? #alaaah x))
Hapusboleh nih dijadiin refrensi, aku dan pasangan beda agama, emang sih orang tuaku merestui, bahkan nganjurin pindah agama hehe cuma ya siapa tau nanti mereka berubah pikiran, jadi kami gak bisa nyatu aku bisa nikam dia pake pisau hihihi eh tapi mahal di ongkos deh kl harus terbang ke korea buat bunuh dia hmmmm
BalasHapus@leniwiw: kok aku jd serem ya, kalo km jadiin referensi :s
BalasHapusthanks anyway, udah mampir :)
@noichil: nah, sarannya bu dokter makin sip. sianida belum keturutan, skrg malah karbonmonoksida x))
Kalau ada yang harus mati, itu bukan kamu, bukan aku, tapi dia. Dia yang telah merebutmu dariku.
BalasHapusKalau dia yang mati, bukankah itu sia-sia? Nanti kamu bisa mencari dia yang baru, kan?
BalasHapushmmmm
BalasHapusSatu lagi cerita yang dramatis nan sadis :)
BalasHapus@bunavita: yes, mbak? hehehe :p
BalasHapus@evi: *ketjup* :D
isunya menarik, endingnya ciamik.
BalasHapusWOW untuk cerita ini! :D