Si Gadung

Aku tahu. Sejak dini, manusia diajarkan untuk saling mengasihi dan menyayangi sesama makhluk hidup ciptaan Tuhan. Sebagai makhluk paling sempurna, manusia diberi pemahaman bahwa hidup harus saling berdampingan dengan makhluk hidup yang lain, yaitu hewan dan tumbuhan.

Tapi yang aku temui, rasanya berbanding terbalik. Di rumah tempat aku tumbuh, aku seakan-akan hanya dianggap sebagai peneduh dan penyerap karbon dioksida. Aku  diberi minum sewaktu-waktu saja, bahkan terkadang hanya waktu mereka mengingatku. Aku jarang diberi makanan yang cukup berupa pupuk. Intinya, pemilikku jarang mengasihi atau menyayangiku.

Kalau kau ingin tahu, tubuhku sebenarnya cukup tinggi dan daunku amat rimbun. Aku dapat menghasilkan oksigen yang cukup, setidaknya cukup untuk dihirup pemilikku. Satu hal lagi, aku bisa memberikan buah yang cukup segar untuk disantap di siang hari. Daging buahku berwarna kuning menggoda dan rasanya manis. Mereka menyebutku Si Gadung.

Suatu waktu, tepat di musimku untuk berbuah, pemilikku mengajakku bicara untuk kesekian kalinya. Ah, tapi apa bisa disebut bicara jika kenyataannya dia hanya mencela karena dari tahun ke tahun, hanya lebat daunku yang bisa kuberikan sebagai hadiah. Tidak sadarkah dia, bagaimana aku bisa berbuah jika dia saja jarang memberiku makan dan minum?

Aku sering iri dengan Si Manalagi yang ada di seberang rumahku. Dia amat dimanja. Diberi minum cukup juga tidak pernah kelaparan karena si pemilik rajin memberinya makanan. Pun sering diajak bicara. Tak heran jika dia rajin menghadiahi pemiliknya banyak buah hingga beberapa keranjang. Ah, betapa aku amat ingin merasakan hal yang sama...

Tiga hari setelah pembicaraan kami, sikap pemilikku makin di luar nalar. Dia berulang kali menggores tubuhku dengan pisau tajam. Tubuhku penuh dengan luka gores, puluhan jumlahnya. Ini saran dari temannya. Dengan menyakitiku, bisa merangsangku untuk berbuah. Betapa saran itu kejam! Tidakkah dia merasa iba dengan menyakitiku? Perlahan, aku menangis...

--------

Keesokan harinya, di sisa nafasku yang nyaris putus, aku berusaha tersenyum mendengar suara panik pemilikku karena rumahnya hancur. Tadi malam di tengah aku menangis, alam seakan mengerti kesedihanku lalu menghembuskan anginnya amat kencang hingga akhirnya sanggup melepaskan akarku dari tanah.
Aku roboh seketika.
Sudah, kini aku tidak perlu lagi merasakan sakit. Ini sudah berakhir.




26.07.2012

Komentar

Postingan Populer