I'm (NOT) Notary Wanna Be
Saya akui, beberapa waktu belakangan ini ada pertanyaan dari mama yang belum terjawab.
Ini berawal dari obrolan santai di meja makan (saya lupa makan siang atau malam). Adik saya membuka obrolan bahwa suatu saat, dia amat ingin sekolah lagi dan berminat di bidang psikologi. Yang saya tahu, dari dulu dia memang amat sangat ingin belajar tentang ilmu yang berhubungan dengan memahami pola pikir manusia tersebut. Tapi yang tidak dapat diduga, dunia kerjanya mengenalkan dia ilmu graphology (ilmu membaca seseorang lewat tulisan tangan), dan itu jadi semacam booster bagi dia untuk lebih mendalami psikologi.
Reaksi mama saya waktu itu, simple. "Oke, ga masalah kalau kamu memang pengen belajar itu. Ilmu itu harus dikejar, dicari sampai kapan pun".
Reaksi lanjutan dari mama yang buat saya terhenyak. "Kalau Vanda, mau lanjutin sekolah apa? Apa ga pengen ambil S2 Notariat?"
Jedeeerrrr....itu reaksi saya yang pertama (secara batin).
Lemas seluruh badan, itu reaksi yang kedua.
Speechless, itu reaksi yang ketiga.
Oke. Keilmuan yang saya pilih sepenuh hati pas masuk dunia mahasiswi adalah Ilmu Hukum. Itu sudah pilihan yang saya pertahankan mati-matian, setelah berulang kali "pengajuan" jurusan ilmu ke papa ditolak mentah-mentah. Apapun yang terjadi, saya bersikukuh di pilihan itu. Lewat SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), akhirnya saya ditakdirkan untuk terjun di jurusan Ilmu Hukum, sekalipun itu adalah pilihan terakhir dari daftar pilihan IPC yang saya ambil (pertama, Teknik Lingkungan. kedua, Perencanaan Tata Ruang dan Wilayah a.k.a Planologi).
Nah, persis setelah tahu bahwa saya masuk di Fakultas Hukum Unair, Almarhumah Oma saya sempat bilang begini, "Dari dulu, Oma selalu pengen ada salah satu dari cucu Oma yang bisa jadi Notaris. Nanti biar Vanda ya, yang wujudin...".
Reaksi saya waktu itu, ya, sekedar bilang "Amin" tanpa tahu efek lanjutan dari jawaban tadi.
Dan tahukah Anda, bahwa waktu dan pengalaman itu guru yang paling baik? Itu menurut saya sih.. Karena akhirnya waktu pula lah, yang membuat saya benar-benar bisa berpikir jernih.
...Do I really want to become a Notary?...
Di sinilah perang batin saya dimulai. Saya tiba-tiba jadi nge-drop sendiri setiap ingat apa yang Oma saya harapkan dari saya. Buat saya, harapan Oma itu terlalu tinggi. Bukannya merasa tidak sanggup dan merasa kalah sebelum berperang tapi entah ya, rasanya saya jadi tidak terlalu tertarik seperti sebelumnya. Walaupun jujur, ada perasaan bersalah di diri saya sendiri karena (bisa jadi) saya gagal mewujudkan impian Oma yang paling besar ke saya. Di otak saya semacam ada Perang Baratayudha seperti ini, "masa sih, demi harapan Oma aja kamu ga bisa wujudin?". Itu cuma di otak saya, seseorang pun tidak pernah saya beritahu tentang hal ini. Tapi di sisi lain otak saya, seakan-akan ada bisikan...you need someone to talk to! you really need it!
Sampai akhirnya, (lagi-lagi) waktu menggiring saya ke obrolan santai di meja makan ini. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, saya toh akhirnya harus angkat bicara soal Perang Baratayudha itu tadi. Dan ya, saya berat hati (karena bingung) menjawab pertanyaan mama tadi. Secara diplomatis, saya jawab seperti ini...
"Mam, minta maaf sebelumnya ya. Aku bukannya ga pengen atau ga mau ambil S2 Notariat tapi beberapa waktu belakangan ini, aku mulai mikir, rasanya aku ga yakin aku bener-bener pengen jadi Notaris deh, mam... Aku bukannya lupa, aku masih inget banget apa yang Oma pengen buat aku wujudin dan aku juga tau jadi Notaris itu duitnya banyak! Cuma bikin Akta Jual Beli aja bisa langsung dapet 1 juta lebih. Tapi aku ga yakin aku mau itu. Ini bukan sekedar masalah duitnya tapi masalah hati. Aku ga mau karena sekedar pengen wujudin, aku jadi terpaksa jalaninnya, yang akhirnya malah jadi buang uang, waktu, tenaga juga pikiran. Aku ga mau kayak gitu."
Ah, waktu itu sudah siap andai mama protes ke jawaban yang saya kasih. Andai mama kasih wejangan pun, oke saya terima. Tapi jawaban mama lebih dari ekspektasi yang saya buat. Jawabannya seperti ini...
"Ya sudah kalau kamu memang ga yakin buat ambil Notariat. Tapi mama tetap berharap kamu punya niat buat sekolah lagi, ga peduli apapun bidang keilmuannya. Cari tahu ilmu apa yang kamu pengen, yang sesuai sama hatimu. Mama ga bisa kasih kamu sangu apa-apa buat kamu, buat hidupmu, mama cuma bisa kasih kamu sangu ilmu. Lebih dari itu, mama ga bisa, karena mama ga punya apa-apa".
Haahhhhhh, melting! Lega luar biasa dengar jawaban mama yang demokratis gitu. Rasanya, saya sudah benar-benar dianggap dewasa untuk ambil keputusan buat hidup yang saya jalani. I feel free to decide what I want. Dan menurut saya itu luar biasa hebat!. Kenyataannya, mama toh tidak terlalu ambil pusing dengan Perang Baratayudha yang saya karang sendiri (dasar lebay kan!?). Mama toh tetap menghargai apapun yang anaknya mau. Apapun yang dipilih anaknya, selama itu dalam koridor yang benar dan positif.
Dan akhirnya, disinilah saya. Di meja kerja di sudut pojok ruangan di lantai 9 Gedung Graha SA. Menekan tuts demi tuts keyboard dalam diam dan kedinginan (karena AC tepat di atas kepala), sambil terus berpikir...
"Wooyy....ini mau ambil sekolah apa lagi?"
"What do you want, Ndaaa?"
"Ayooo, take a decision!"
Ini berawal dari obrolan santai di meja makan (saya lupa makan siang atau malam). Adik saya membuka obrolan bahwa suatu saat, dia amat ingin sekolah lagi dan berminat di bidang psikologi. Yang saya tahu, dari dulu dia memang amat sangat ingin belajar tentang ilmu yang berhubungan dengan memahami pola pikir manusia tersebut. Tapi yang tidak dapat diduga, dunia kerjanya mengenalkan dia ilmu graphology (ilmu membaca seseorang lewat tulisan tangan), dan itu jadi semacam booster bagi dia untuk lebih mendalami psikologi.
Reaksi mama saya waktu itu, simple. "Oke, ga masalah kalau kamu memang pengen belajar itu. Ilmu itu harus dikejar, dicari sampai kapan pun".
Reaksi lanjutan dari mama yang buat saya terhenyak. "Kalau Vanda, mau lanjutin sekolah apa? Apa ga pengen ambil S2 Notariat?"
Jedeeerrrr....itu reaksi saya yang pertama (secara batin).
Lemas seluruh badan, itu reaksi yang kedua.
Speechless, itu reaksi yang ketiga.
Oke. Keilmuan yang saya pilih sepenuh hati pas masuk dunia mahasiswi adalah Ilmu Hukum. Itu sudah pilihan yang saya pertahankan mati-matian, setelah berulang kali "pengajuan" jurusan ilmu ke papa ditolak mentah-mentah. Apapun yang terjadi, saya bersikukuh di pilihan itu. Lewat SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), akhirnya saya ditakdirkan untuk terjun di jurusan Ilmu Hukum, sekalipun itu adalah pilihan terakhir dari daftar pilihan IPC yang saya ambil (pertama, Teknik Lingkungan. kedua, Perencanaan Tata Ruang dan Wilayah a.k.a Planologi).
Nah, persis setelah tahu bahwa saya masuk di Fakultas Hukum Unair, Almarhumah Oma saya sempat bilang begini, "Dari dulu, Oma selalu pengen ada salah satu dari cucu Oma yang bisa jadi Notaris. Nanti biar Vanda ya, yang wujudin...".
Reaksi saya waktu itu, ya, sekedar bilang "Amin" tanpa tahu efek lanjutan dari jawaban tadi.
Dan tahukah Anda, bahwa waktu dan pengalaman itu guru yang paling baik? Itu menurut saya sih.. Karena akhirnya waktu pula lah, yang membuat saya benar-benar bisa berpikir jernih.
...Do I really want to become a Notary?...
Di sinilah perang batin saya dimulai. Saya tiba-tiba jadi nge-drop sendiri setiap ingat apa yang Oma saya harapkan dari saya. Buat saya, harapan Oma itu terlalu tinggi. Bukannya merasa tidak sanggup dan merasa kalah sebelum berperang tapi entah ya, rasanya saya jadi tidak terlalu tertarik seperti sebelumnya. Walaupun jujur, ada perasaan bersalah di diri saya sendiri karena (bisa jadi) saya gagal mewujudkan impian Oma yang paling besar ke saya. Di otak saya semacam ada Perang Baratayudha seperti ini, "masa sih, demi harapan Oma aja kamu ga bisa wujudin?". Itu cuma di otak saya, seseorang pun tidak pernah saya beritahu tentang hal ini. Tapi di sisi lain otak saya, seakan-akan ada bisikan...you need someone to talk to! you really need it!
Sampai akhirnya, (lagi-lagi) waktu menggiring saya ke obrolan santai di meja makan ini. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, saya toh akhirnya harus angkat bicara soal Perang Baratayudha itu tadi. Dan ya, saya berat hati (karena bingung) menjawab pertanyaan mama tadi. Secara diplomatis, saya jawab seperti ini...
"Mam, minta maaf sebelumnya ya. Aku bukannya ga pengen atau ga mau ambil S2 Notariat tapi beberapa waktu belakangan ini, aku mulai mikir, rasanya aku ga yakin aku bener-bener pengen jadi Notaris deh, mam... Aku bukannya lupa, aku masih inget banget apa yang Oma pengen buat aku wujudin dan aku juga tau jadi Notaris itu duitnya banyak! Cuma bikin Akta Jual Beli aja bisa langsung dapet 1 juta lebih. Tapi aku ga yakin aku mau itu. Ini bukan sekedar masalah duitnya tapi masalah hati. Aku ga mau karena sekedar pengen wujudin, aku jadi terpaksa jalaninnya, yang akhirnya malah jadi buang uang, waktu, tenaga juga pikiran. Aku ga mau kayak gitu."
Ah, waktu itu sudah siap andai mama protes ke jawaban yang saya kasih. Andai mama kasih wejangan pun, oke saya terima. Tapi jawaban mama lebih dari ekspektasi yang saya buat. Jawabannya seperti ini...
"Ya sudah kalau kamu memang ga yakin buat ambil Notariat. Tapi mama tetap berharap kamu punya niat buat sekolah lagi, ga peduli apapun bidang keilmuannya. Cari tahu ilmu apa yang kamu pengen, yang sesuai sama hatimu. Mama ga bisa kasih kamu sangu apa-apa buat kamu, buat hidupmu, mama cuma bisa kasih kamu sangu ilmu. Lebih dari itu, mama ga bisa, karena mama ga punya apa-apa".
Haahhhhhh, melting! Lega luar biasa dengar jawaban mama yang demokratis gitu. Rasanya, saya sudah benar-benar dianggap dewasa untuk ambil keputusan buat hidup yang saya jalani. I feel free to decide what I want. Dan menurut saya itu luar biasa hebat!. Kenyataannya, mama toh tidak terlalu ambil pusing dengan Perang Baratayudha yang saya karang sendiri (dasar lebay kan!?). Mama toh tetap menghargai apapun yang anaknya mau. Apapun yang dipilih anaknya, selama itu dalam koridor yang benar dan positif.
Dan akhirnya, disinilah saya. Di meja kerja di sudut pojok ruangan di lantai 9 Gedung Graha SA. Menekan tuts demi tuts keyboard dalam diam dan kedinginan (karena AC tepat di atas kepala), sambil terus berpikir...
"Wooyy....ini mau ambil sekolah apa lagi?"
"What do you want, Ndaaa?"
"Ayooo, take a decision!"
-END-
Komentar
Posting Komentar