Di Hidupmu Aku Terisi Cinta
12 Januari 1998
Aku sedang asyik berkutat dengan
buku soal “Matematika untuk Kelas 5 SD” milikku di sekolah, saat mama tiba-tiba
datang dengan raut muka cukup tegang. Sejenak, mama terlibat pembicaraan serius dengan
guruku. Pembicaraan itu singkat, mungkin hanya sekitar 3 menit. Yang terjadi selanjutnya, guruku menyuruh untuk segera mengemasi semua buku-buku yang ada di mejaku, lalu
pulang. Yang aku rasakan saat itu, aku senang karena bisa pulang lebih
awal dari teman-temanku yang lain. Sambil melewati lapangan sekolah, aku pun berceloteh riang sambil menggandeng
tangan mama dan bertanya, “kita mau kemana, ma?”. Mama hanya diam.
Di luar pagar sekolah, sudah ada
taksi yang menunggu kami, yang pastinya sudah mengantar mama dari rumah ke
sekolahku. Aku pun masuk dan beberapa saat setelah taksi itu melaju, mama
akhirnya membuka suara…
“Papa kena stroke, sekarang ada
di ICU. Kita ke sana. Nanti kamu jangan nangis ya, nak..”
Stroke, apa itu? Di bayanganku,
itu pasti sakit yang cukup parah. Kalau tidak parah, papa tidak mungkin sampai
harus masuk ICU kan? Dan kenapa mama memintaku untuk tidak menangis? Seberapa
parah kah keadaan papa? Ah, papa pasti tetap baik-baik saja. Bukan kah selama
ini papa selalu terlihat sehat? Ah, semoga sakit papa tidak terlalu parah.
Kami pun akhirnya sampai di rumah sakit tempat papa di rawat. Aku menaiki anak tangga satu per satu, demi sampai di lantai 3, tempat papa berbaring di ICU. Dan saat mama mulai membuka pintu ruangan yang menghubungkan koridor dengan ruang ICU, sekali lagi mama berpesan hal yang sama, "Tahan ya, nak... jangan nangis di depan papamu".
Genggaman tangan mama masih belum terlepas dari tanganku, sampai akhirnya aku benar-benar ada di ruangan papa. Aku terhenyak selama sepersekian detik. Di hadapanku, papa terbaring lemah dengan beberapa jarum infus dan selimut di tubuhnya. Tabung oksigen tegak menemani di sisi kiri tempat tidurnya. Papa sadar dan melihatku datang dengan pandangannya yang lemah. Perlahan, aku dekati tempat tidur papa. Aku diam, pandanganku nanar, bingung. Hanya mampu melihat papa dari ujung kepala hingga kaki. Aku tidak menangis, sesuai janjiku pada mama.
Tepat waktu aku masih diam di sisi papaku, aku mendengar adik papa memberi tahu mama, "tadi ditemuin pegawainya jatuh di kamar mandi. sudah keadaan ga sadar, langsung dibawa kesini. ada pendarahan di otaknya. ini sekarang badannya mati separuh, sebelah kiri". Mati separuh? Apa lagi itu? Ah, pasti tanteku ini bohong! Papa baik-baik saja! Coba lihat, papa sadar! Bisa melihatku dengan pandangan sayang seperti biasanya! Tidak, tante pasti bohong! Dalam hati, aku meyakini satu hal, papa pasti sembuh. Bisa mengajakku jalan-jalan atau menggendongku tinggi-tinggi.
19 Januari 1998
Papa akhirnya keluar dari ICU, lalu pindah ke kamar rawat inap karena kondisi badannya sudah membaik. Aku lihat, Papa sudah semakin segar juga bugar. Rokok dan kopi favoritnya, jadi hal yang amat harus dijauhi, kalau papa mau sehat. Itu sih kata pak dokter. Hihihi, aku tertawa geli. Bukannya apa, karena sebenarnya aku rajin menyeruput kopi paginya, sebelum papa sempat meminumnya. Kalau papa tidak lagi boleh minum kopi, berarti kebiasaan seruput itu juga harus hilang dong ya?
Yang aku rasa aneh hanya satu hal. Ada satu wanita yang juga rajin menemani papa, sejak papa di ICU sampai akhirnya di kamar inap. Sikapnya biasa-biasa saja padaku, tidak terlalu baik tapi juga tidak jahat, biasa saja. Papa menyuruhku memanggilnya mama Devi. Hah? Kenapa harus dipanggil mama? Dia itu siapa? Bukannya mamaku cuma ada satu? Yang selalu menemaniku di rumah, me-ninabobok tepat saat aku mau tidur, menyuapi ketika aku sarapan karena buru-buru dijemput mobil antar jemput untuk berangkat ke sekolah... Kenapa aku harus memanggilnya mama juga? Ini tidak masuk akal. Aku ingin bertanya tapi aku bingung harus bertanya pada siapa. Papa masih belum terlalu sehat, sedangkan mama akhir-akhir ini sering terlihat murung, melamun bahkan menangis...entah karena apa. Sejujurnya, aku ingin menolak panggilan itu tapi bukannya nanti justru melawan papa? Ah, aku bingung...
Februari 1998
Papa akhirnya keluar dari rumah sakit, dengan warning dokter...harus jauh-jauh dari kopi dan rokok. Untuk sementara, papa menginap di rumah adiknya karena adik iparnya yang dokter specialis syaraf memintanya untuk intens melakukan fisioterapi. Semacam latihan perbaikan gangguan fungsi alat gerak begitulah....
17 Juli 1999
Hari ini, aku dinyatakan diterima di salah satu sekolah lanjutan tingkat pertama negeri di kota tempatku tinggal. Yahh, akhirnya aku resmi "naik tingkat", jadi anak SMP. Kedengarannya cukup keren, hehehe
Sekitar jam 6 sore, mama mengajak aku makan malam. Menu malam ini, lele goreng lengkap dengan sambal terasi dan lalapan juga nasi hangat, ini favoritku. Kata mama, "Ini merayakan keberhasilanmu". Aku tersenyum.
Tapi senyumku ternyata tidak lama karena raut muka mama mendadak berubah. Obrolan santai kami berubah menjadi pembicaraan serius. Mama memulai obrolan dengan mengajakku bernostalgia kejadian 1 tahun lalu, saat papa terbaring sakit...
"Kamu masih ingat orang yang papa suruh untuk panggil dia mama Devi?". Aku mengangguk pelan.
"Kamu tahu dia siapa? Kenapa papa minta kamu panggil dia mama?"
Aku menggeleng keras. Mendadak jantungku berdebar, inilah saatnya! Akhirnya akan terjawab pertanyaanku selama ini! Tapi ternyata, kata-kata lanjutan mama sulit aku cerna lewat nalar.
"Kamu tahu dia siapa? Kenapa papa minta kamu panggil dia mama?"
Aku menggeleng keras. Mendadak jantungku berdebar, inilah saatnya! Akhirnya akan terjawab pertanyaanku selama ini! Tapi ternyata, kata-kata lanjutan mama sulit aku cerna lewat nalar.
"mama Devi...istri pertama...ga punya anak...mama...istri kedua....."
Astaga! Jawaban mama tidak seperti yang aku bayangkan. Sungguh, aku merasa ini kelewatan! Mungkin mama bercanda. Tapi tidak, mama tetap dengan pandangan seriusnya. Astaga, Tuhan...apa ini?? Tidak...aku tidak percaya ini semua!
17 Juli 2012
Hari ini, tepat 13 tahun berlalu sejak mama membuka rahasia paling besar di hidupnya. Aku menemukan diriku dalam keadaan baik-baik saja, walaupun aku tahu, ada kesedihan yang masih subur di alam bawah sadarku. Aku kurang bisa menerima keputusan papa untuk melakukan poligami. Aku pun akhirnya enggan peduli dengan orang yang harusnya kupanggil mama Devi itu. Bukan aku tak punya hati tapi entah ya, aku kurang bisa menerima dia, itu saja. Aku dengan sengaja menghindar bahkan menjauh, berharap tidak pernah mengenal dia...
Cukuplah aku punya satu mama. Mama yang rahimnya aku diami 9 bulan 10 hari, yang melahirkanku, yang membesarkanku dari kecil hingga sekarang, menjadi perempuan dewasa.
I love you, mam...you're irreplaceable.
Di hidupmu aku menemukan matahari. Di hidupmu aku terisi cinta...juga kasih yang tanpa batas dan ujung waktu. Terima kasih.
24.07.2012
Komentar
Posting Komentar