Mereka yang Mengantar Senja dan Membangunkan Fajar
Kalau saja kalian bertanya tentang di mana mereka
berada, kalian bisa menemukan mereka duduk berdampingan di sisi Timur sebuah telaga
yang airnya sedang tinggi karena hujan tadi malam, dengan kaki-kaki yang menggantung
ke arah telaga. Sesekali, aku melihat kaki mereka seakan menendang-nendang
sesuatu yang tidak ada. Seperti anak kecil yang sedang bermain-main di ayunan.
Menunggu senja pulang, itu istilah yang
mereka gunakan atas apa yang mereka lakukan saat ini. Menikmati detik-detik
sang matahari turun perlahan, lalu kembali ke peraduannya. Dengan kamera
canggih di tangan sang lelaki, momen-momen matahari bisa terekam dengan baik. Sang
perempuan? Dia terdiam dengan pandangan mata yang sama sekali tidak berpindah
sejak pertama kali aku melihatnya. Nyaris tidak berkedip.
Lelaki itu menurunkan kameranya sejenak, menoleh
sejenak pada perempuannya sambil tersenyum.
“Senjanya cantik, ya?”
Tanpa merasa perlu mengalihkan pandangannya,
perempuan itu mengangguk pelan. “Tapi aku lebih suka matahari terbit. Fajar itu
lebih cantik.”
“Kok gitu? Senja juga cantik kok.”
“Aku nggak bilang senja itu nggak cantik,
kan? Senja memang cantik, tapi menurutku, fajar itu lebih cantik.”
“Alasannya?”
Perempuan itu tersenyum. “Karena dia lebih hangat.
Fajar itu berarti matahari pagi, yang penuh semangat buat jalani hari, soalnya
kita masih dikasih kesempatan hidup. Dia juga kasih pemahaman kalau hidup di
hari itu, sungguh amat sangat layak dijalani. Ya, kan?”
Aku melihat lelakinya terdiam. Alih-alih
langsung menjawab, lelakinya memilih mengangkat kameranya, membetulkan arah
bidik dan fokusnya ke arah matahari.
“Iya, sih, tapi senja kan juga ngajarin kita
sesuatu.” ujar si lelaki yang tetap pada pendiriannya.
“Apa? Janji untuk datang dan kembali lagi
besok?”
“Iya. Senja boleh hilang, pulang, atau apa
pun istilahnya. Tapi sadar atau nggak, dia pun janji buat datang dan kembali
lagi, buat kita, buat semuanya. Bukannya itu juga hal yang manis?”
Perempuannya hanya tersenyum.
“Fajar mengingatkanmu sama sesuatu?” tebak si
lelaki, yang disambut kernyit di dahi sang perempuan, “mantanmu, mungkin? Dia suka
matahari terbit? Tulisan di blogmu banyak sekali soal matahari terbit yang kamu
hubungin sama mantanmu, ya, kan?”
“Iya,” jawabnya sambil tersenyum dan mata
yang belum beralih dari matahari, “dulu aku memang sering mengibaratkan dia
kayak matahari terbit. Karena dia hangat, selalu ingetin buat berdoa setiap pagi, walaupun Tuhan kami berbeda,”
perempuan itu tertawa sejenak, “tapi itu sudah masa lalu, udah lewat. Masanya udah
ganti, sekarang masanya aku sama kamu. Perkara aku masih suka sama matahari
pagi atau fajar, ya, karena suka aja. Sudah nggak ada urusan sama mantan.”
Perempuan itu menyempatkan menggenggam
lembut telapak tangan kanan lelakinya. “Mantan itu memang masa lalu. Tapi kamu
nggak bisa begitu aja lepasin orang yang kamu sayang dari kenangan yang pernah
dia buat sama orang lain, sebelum kamu datang…”
“Tapi bukan berarti harus kebayang-bayang
terus, kan?” sela si lelaki.
“Iya, memang, tapi bukan berarti juga kamu
bisa sesuka hati berharap bisa menghapus kenangan yang sudah ada. Menurutku, manusia
itu terbentuk dari pengalaman, juga kenangan.”
Matahari makin menukik. Sudah separuh
tenggelam. Apik. Pemandangan yang sayang dilewatkan. Sekalipun senja
mengajarkan tentang kesetiaan, manusia mana tahu, besok masih bisa menikmati
keindahan yang sama lagi atau tidak.
“Aku cemburu.” ujar si lelaki. Lirih.
“Eh? Cemburu kenapa?” perempuan itu segera mengarahkan
pandangan ke lelakinya. Matanya membulat. Panik.
“Cemburu… betapa hebatnya mantanmu itu bisa
jadi inspirasi nulis sampai sebegitu banyaknya, bahkan kamu anggap kayak
matahari pagi. Sedangkan aku… dengan sekian banyaknya kebahagiaan yang udah aku
ciptakan buat kamu, nggak satupun tulisanmu bisa terinspirasi dari aku atau dari
senja yang jadi kesukaanku.”
Perempuan itu tercenung, lalu menundukkan
kepalanya dan terdiam cukup lama. Entah karena kebingungan mencari jawaban atau
diam karena sejatinya, dia tidak punya jawaban apa pun.
“Perlukah kita berdebat soal ini, Sayang?
Soal siapa yang jadi inspirasi? Sama halnya kita seringkali berdebat mana yang
lebih enak, apakah Robusta atau Arabica? Hal-hal yang sebenarnya sama sekali
tidak pernah mungkin kita temukan jawabannya dengan tepat. Karena tepat bagiku,
belum tentu tepat bagimu. Perlukah?”
Hening tapi riuh di pikiran masing-masing. Riuh
yang lebih ramai dibanding jalanan di sepanjang telaga. Lebih sibuk daripada
anak-anak kecil di sekitar mereka yang belum juga lelah saling berkejaran kesana-kemari
sejak tadi.
Hening dengan pikiran yang terus mengembara,
kadang bisa membawamu makin jauh dari segala pikiran yang belum tentu memeluk
kata benar.
“Selama kita bisa melahirkan sebuah
tulisan, bukankah itu baik? Terlepas itu karena matahari pagi yang pernah aku
anggap itu kayak mantan, atau karena senja yang jadi kesukaanmu. Kamu sendiri
yang mengingatkan aku untuk selalu menulis, kan?” cecar perempuan itu dengan
napas yang tersengal.
Dia melanjutkan, “Lagipula tadi aku juga
udah bilang kalau soal mantan itu udah cerita lalu. Aku… aku cuma belum ketemu
ide yang tepat buat nulis, yang inspirasinya dari kamu. Suatu saat nanti, pasti
ada tulisan yang aku tulis dan kamu jadi idenya….”
“Sayang…” potong si lelaki.
“Maaf kalau aku sudah buat kamu cemburu.”
ujar perempuan itu lirih.
Matahari sempurna tenggelam. Bulan juga
bintang sedang bersiap untuk muncul di angkasa. Mereka sedang sibuk berganti peran.
Begitu pula cerita yang dijalani manusia, kan? Akan selalu ada pergantian peran
antara sosok satu dengan yang lain. Terus begitu.
Setiap yang datang, pasti akan ada yang
pergi.
Merelakan kebahagiaan lalu dengan
seseorang, akan diganti dengan kebahagiaan dari orang lain.
Aku mendengar sebuah helaan napas panjang
yang terdengar berat. Lelaki itu sedang berusaha melepas sekotak beban yang
menghimpit dadanya.
“Perempuanku… oke, ini bukan soal mana yang
lebih cantik, fajar atau senja. Tapi soal bagaimana kita didekatkan dengan hal
yang sudah kita debatkan.”
Kernyitan dan pandangan tanda tanya tampak
jelas di wajah perempuan itu. “Maksudnya?”
“Maaf kalau aku sudah memilih cemburu lebih
dulu, tapi aku akan berusaha percaya kalau kamu pasti bisa menulis sesuatu yang
inspirasinya dari aku, suatu hari nanti,” ujar sang lelaki sambil tersenyum, “tapi
yang jauh lebih penting, sekarang ada harapan baru di pikiranku… aku berharap,
kelak, kamu akan leluasa menikmati ketenangan bersamaku. Mengantar senja atau
membangunkan fajar. Siapa tahu, habis itu idemu bisa lebih liar menulis tentang
aku. Gimana?”
Tidak perlu ribuan bintang untuk membuat
perempuan itu tersenyum. Ia hanya perlu menatap dalam-dalam mata lelakinya dan
menemukan kalau banyak harapan juga mimpi yang ingin dia bangun bersama.
“Aku justru berharap, kelak, aku nggak
perlu merasa bingung memilih mana yang lebih cantik. Apakah senja atau fajar,
karena kamulah keduanya. Kamu itu harapan seperti fajar, juga ikrar untuk
selalu ada seperti senja.”
_____
23.04.2014
baru kemarin aku melihat senja di selat alas
BalasHapusdan tadi pagi melihat fajar dari puncak bukit jalan bungur...
indah nian keduanya
:)
BalasHapus