Mimpi William
“Mami,
nanti kalau sudah besar, William boleh jadi pilot?”
Aku menoleh. Pandanganku bertabrakan dengan
pandangan matanya yang berbinar-binar. Ajakanku untuk ikut mengantar Papinya ke
Juanda, tanpa disangka membuat pikiran anak-anaknya menjadi berlarian tanpa
arah sampai akhirnya membuatnya bermimpi, akan jadi apa dia nanti.
Aku mengusap lembut rambutnya. “Kenapa
William pengen jadi pilot?”
“Kayaknya keren, Mi. Pesawat kan besar,
pasti yang jadi pilot itu orangnya hebat. Terus, biar nanti William juga bisa
ajak Papi sama Mami terbang kemana-mana. Boleh ya, Mi? ”
Kombinasi ayunan tangan dan muka innocentnya, mau tak mau membuat senyum
muncul tanpa permisi. Yang ada di pikiranku, itu hanya mimpi anak kecil yang
bulan depan atau bahkan besok, bisa berubah begitu saja. Bukankah anak kecil
itu pemimpi ulung yang bisa mengganti segalanya tanpa rencana? Tapi, apa salahnya
memberi jawaban yang menyenangkan untuk anakku sendiri?
“Iya, William boleh jadi pilot.”
“Makasih, Mami.” jawabnya sambil memeluk
tanganku yang digandengnya dari tadi.
***
Mendengar suara pesawat melintas, mau tak
mau membuatku melihat ke langit walau sejenak. Aku tersenyum, teringat William.
Ingat cita-citanya yang entah nyata atau hanya sekadar buaian mimpi seorang
anak umur 5 tahun. Ini sudah bulan kelima sejak dia bermimpi jadi pilot, tapi mimpinya
masih belum berubah. Bahkan, dia dengan semangat menceritakan mimpinya ke
setiap orang yang dia temui. Aku sempat curiga, dia benar-benar yakin dengan mimpinya
kali ini.
Hari ini, doaku masih sama seperti
sebelumnya. Berharap pada Tuhan, agar William tumbuh jadi anak pintar dan mampu
menjadi apapun yang dia inginkan dan jadi kebanggaan bagi keluarganya. Andai dia jadi pilot pun, bukan masalah. Aku membayangkan,
dia pasti akan terlihat gagah seperti Papinya.
Di hadapanku, William sedang tidur dengan nyenyaknya.
Aku bangkit perlahan, tak ingin membuatnya terbangun karena gerakanku yang
mendadak.
“Selamat tidur, William. Mami tahu, sekarang
kamu pasti sudah jadi pilot dengan pesawatmu sendiri …”
Aku mengecupnya pelan dan berlalu. Meninggalkan
sebuah nisan batu dengan miniatur pesawat terbang, mainan kesukaan William.
23.02.2013
Jadi waktu nganter papi itu, William udah mati apa belum ya?
BalasHapusaku cediiih :'((
BalasHapusaku cediiih :'((
BalasHapusaku cediiih :'((
BalasHapus@Evi: pas nganter, William belum mati.
BalasHapus@Jemmy: *puk-puk*
cerita bagus, sederhana tapi maksudnya dapet. makasih infonya, main ke sini yuuk ada cerita seru, ga nyesel deh kalo dah baca(blog saya juga dofollow auto aprove lho)http://www.bukuhidupandre.blogspot.com
BalasHapus