tentang dia
Siang itu, secara tiba-tiba dia muncul dan menyapaku lewat Yahoo Messenger dengan pertanyaan yang sederhana, menanyakan keadaanku. Setelah kujawab singkat, percakapan kami pun berlanjut lebih manis. Jauh dari prasangka buruk yang aku punya, bahwa dia tidak lagi ingin berbicara denganku setelah dia sempat berusaha menutup seluruh akses komunikasi yang mampu aku raih. Dia mulai terbuka dan rajin bercerita lagi. Percakapan itu mencairkan sebuah kebekuan yang sempat terbentuk antara kami dalam beberapa hari terakhir, setelah aku memutuskan untuk pergi melepaskan seluruh perasaan yang aku punya kepadanya, demi kebahagiaannya.
Dia mengakui dengan jujur tentang keadaannya. Bersedih hati. Penat dengan segala beban di pikirannya, dengan semua masalah hidup yang dia anggap sudah datang bertubi-tubi. Apa masalah hidupnya, dia bungkam. Dan keputusanku untuk meninggalkan dia, ikut andil memperparah keadaannya. Aku sempat terdiam cukup lama, merasa bersalah dengan keputusanku yang tidak aku sampaikan dengan cara yang baik, ternyata berakibat buruk. Yang bisa aku tulis sebagai jawaban hanya “maaf, gomenasai…”.
Percakapan kami masih berlanjut, sampai tiba-tiba dia menulis dengan kata-kata yang sederhana “Aku masih butuh kamu apalagi dengan kondisiku sekarang yang seperti ini”.
Cukup kalimat pendek itu yang akhirnya meruntuhkan semua prasangka burukku tentang dia. Prasangka tentang dia yang tidak lagi membutuhkan aku untuk menemaninya, juga tentang dia yang sudah bahagia dengan keputusanku meninggalkannya. Kalimat pendek itu pula yang akhirnya kembali membuka pintu kebaikan, pintu yang kami buat untuk melangkah bersama dan menjadi pribadi yang dewasa, juga saling mendukung satu sama lain.
Di hari yang sama, sore itu kami pun bertemu dalam pertemuan singkat. Dia terlihat shock dan aku seketika merasa hancur juga sakit melihat kondisinya yang jauh berubah dari terakhir kami bertemu. Senyumnya yang selalu menjadi favoritku, hilang entah kemana...
Di pertemuan itu, dia ingin jujur tentang apa yang dia rasa, tentang apa yang sudah dia sembunyikan selama kami masih bersama. Tentang apa yang tidak cukup diungkapkan sekedar lewat Yahoo Messenger. Dia hanya mengajukan satu syarat, memintaku tidak marah dan tidak menyalahkan dia dengan semua kejujurannya, atas apapun keputusan hidup yang sudah dia ambil. Aku setuju.
Dari awal cerita, memori di otakku terus bekerja demi mengingat dengan pasti detail demi detail kisah yang dia ceritakan, kejujurannya. Aku tenang. Bangga. Dia lantang berbicara jujur, walaupun datangnya terlambat. Tapi bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali? Bukankah lebih baik terlambat daripada terus menyimpan kebohongan selama bertahun-tahun?
Bibirnya terus mengeluarkan kata demi kata atas nama kejujurannya, sambil sesekali mengusap rambutku dengan sayang, yang akhirnya kubalas dengan memegang lembut tangannya sambil sesekali menyentuh pipinya. Kami hanya ingin saling berbagi sisa-sisa energi juga pemikiran positif yang kami miliki. Sesekali dia bertanya, “Kamu marah?” dan cepat kujawab “Enggak, sama sekali enggak”, seakan aku tidak lagi punya banyak waktu untuk menjawabnya.
Kenyataannya, kejujuran itu tidak terlalu seram seperti yang aku bayangkan. Yah, aku memang sempat mengira akan histeris. Tapi ternyata cerita itu ringan saja bagiku. Seperti kapas. Dia hanya seperti sedang bercerita tentang cerita lucu di masa kecilnya yang membekas di neuron otaknya.
Dan ketika cerita itu sampai di kalimat terakhir, kelegaan itu datang dengan sempurna. Kami saling memaafkan kesalahan yang sudah kami buat, atas keputusanku untuk meninggalkannya juga atas sikapnya yang tidak jujur selama ini. Kami tersenyum, saling menatap satu sama lain, yang akhirnya dia akhiri dengan ciuman lembut di keningku.
Kami mengulang janji untuk tetap memberikan dukungan satu sama lain, akan selalu berbagi dalam keadaan apapun dan melupakan masa kelam ketika hati kami tidak diisi hangatnya sang mentari. Kami bersyukur mampu melewati semuanya bersama-sama, sekalipun tidak mungkin bagi kami untuk bersatu sampai kapanpun karena perbedaan yang kami punya. Imanku bukan imannya. Kami menyembah Tuhan yang berbeda. Tapi sebenarnya, bukankah perbedaan itu indah?. Dan bukan hal yang penting untuk dipermasalahkan, ya kan?. Toh kami sudah merasa nyaman dengan oase kehidupan yang kami bentuk juga miliki bersama.
Dan inilah kami. Siap dengan fase kehidupan selanjutnya. Siap terbang tinggi menuju matahari. Seperti kupu-kupu….
Komentar
Posting Komentar