Menemani Kai
“Mamaaaaa…..Kai sudah pulang”
Ah, Kai selalu begitu setiap kali
pulang sekolah. Anak perempuanku yang cantik, dengan bentuk pipi yang bulat nan
menggemaskan dan rambut keriting hasil genetik dari Mas Bima, suamiku. Tumben,
hari ini dia sampai rumah jam 12.08. Mungkin, jalanan sedang berbaik hati pada
kami untuk tidak memacetkan diri sehingga aku bisa dengan segera bertemu dan
mendengar celoteh riangnya tentang aktivitasnya di sekolah, begitu pikirku.
Sekejap kemudian, aku mendengar
derap kakinya menuju ruang keluarga, tempatku biasa menunggunya pulang. Dalam
waktu singkat, Kai yang masih lengkap dengan seragam juga tas ranselnya, sudah
duduk manis di hadapanku dengan nafas yang terengah-engah.
“Iya sayang. Anak mama lari-lari
sampai keringetan gini”, sahutku sambil mengusap lembut keningnya yang
berkeringat.
“Hehehe, halo mama. Hari ini Kai
bisa pulang lebih awal soalnya para guru sibuk rapat, katanya buat nyiapin
ujian kelulusan kakak kelas Kai yang sudah kelas 6”.
Ah! Itu ternyata penyebab si
cantikku pulang awal.
“Harusnya tadi Kai bisa sampai
rumah lebih awal lagi kalau bukan gara-gara jalan macet dimana-mana. Banyak
jalan ditutup, banyak polisi juga. Padahal kabarnya cuma Pak Presiden yang mau
lewat. Kenapa harus pakai nutup jalan sih, Ma? Kai enggak suka deh, Pak
Presidennya enggak ngerti apa…kalau Kai butuh buru-buru ketemu mama?”
Aku tersenyum. Anak kelas empat
SD mana paham kalau dijelaskan soal protokoler. Tapi protesnya lucu juga,
karena dulu aku juga sering merasakan juga merutuk dalam hati atas hal yang
sama.
“Terus, ada cerita apa lagi?”,
tanyaku sambil memeluk dan mengelus pipinya. Aku terbiasa diam ketika dia bercerita.
Bukan berarti acuh. Aku sekedar membiasakan putriku untuk bebas dan terbiasa
menceritakan apapun kepadaku.
“Oh iya!”, pekik Kai yang dengan
segera membuka paksa tas ranselnya dan mengeluarkan hampir seluruh isinya demi
menemukan lipatan beberapa kertas. “Tadi Bu Dina bagiin hasil ujian. Matematika
delapan tiga, IPA tujuh lima, IPS tujuh tujuh, Bahasa Indonesia delapan puluh,
Bahasa Inggris delapan delapan, Bahasa Jawaaaa….hehehe…tujuh puluh. Bahasa Jawa
susah, Ma…enggak papa kan kalau dapat nilai segitu? Mama enggak marah kan? Enggak
usah marah ya? Nanti kalau marah, cantiknya hilang lho”
Seperti biasa. Nilai Bahasa Jawa
selalu lebih rendah dibanding Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Padahal ayah
Kai berdarah Jawa, yang tak jarang membiasakan Kai untuk berbicara dalam bahasa
Jawa. Tapi coba lihat, bagaimana caranya merajuk. Apa bisa aku marah dengan
rayuan semacam itu dari putri kesayanganku? Apalagi dengan gayanya yang memilin
ujung rok sekolahnya juga dengan mimik muka memelas.
“Nilai Kai lumayan bagus kan, Ma?
Kai janji belajar lebih giat lagi, biar jadi anak pintar. Terus nanti Kai
sekolah hukum juga, kayak Mama sama Papa. Eh iya, teman Kai tiap kali ditanya
Bu Dina soal cita-cita, jawabannya kebanyakan dokter. Enggak kreatif kan, Ma? Kai
enggak mau jadi dokter! Kai mau jadi notaris kayak Mama sama Papa aja, biar
punya banyak uang. Uangnya notaris juga enggak kalah banyak kan, Ma? Enggak
kalah sama orang-orang yang jadi dokter kan?”
“Iya. Kai boleh kok jadi notaris.
Nanti Kai bilang sama Papa ya”
“Ehm…tadi kelompok Kai menang
olahraga kasti. Teman sekelas Kai dibagi jadi dua kelompok terus ditanding. Skornya
15-10. Kai satu kelompok sama Rama, cowok nyebelin itu. Untung jarakku berdiri
enggak terlalu dekat sama dia. Kalau dekat, pasti rambut keriting Kai dibuat
mainan sama dia. Selesai olahraga, persis pas jam istirahat, kelompok Kai
ditraktir es milo sama Pak Bobi soalnya sudah menang kasti. Rasanya
segeeeeerrrr banget…”
Ceklek!
Pintu kamar di samping ruang
keluarga terbuka. Maya, adikku, muncul. Kai menoleh sesaat.
“Kai, kamu sudah pulang?”
tanyanya sambil mendekat pada kami.
“Eh, Tante…Kai sudah pulang
sekitar sepuluh menit yang lalu. Ini Kai lagi asyik cerita sama mama”
Maya tersenyum lemah. Matanya
mendadak sayu. “Iya, tante tadi dengar dari kamar suara Kai cerita, makanya ini
tante keluar kamar mau ngajak makan. Yuk, makan. Tante sudah buatin semur lidah
kesukaanmu”
“Asyiiikkk! Mama, hari ini Tante
Maya ternyata lagi baik juga kayak Pak Bobi, masakin Kai semur lidah. Kai makan
dulu ya. Dadahh Mamaaaa…”
Kai segera bangkit dari duduknya,
menciumku sekilas dan berbisik “I love you, Ma…” lalu memegang erat jemari Maya
untuk segera pindah ke ruang makan. Tepat sebelum mereka melangkah, Maya menoleh sekilas
kepadaku, pada foto hitam putihku di atas meja, fotoku yang sedang tersenyum
dalam bingkai pigura berwarna hitam yang simpel tapi manis.
Di foto itu tertulis rapi namaku.
Andita Mayangsari
11 Desember 1974 – 5 Maret 2012
Kai…
Maju terus, sayang
Mama selalu di sini, menemanimu.
Show me a smile then,
Don’t be unhappy, can’t remember
When I last saw you laughing
If this world makes you crazy
And you’ve taken all you can bear
You call me up
Because you know I’ll be there
27.09.2012
Phil Collins - True Colors
Phil Collins - True Colors
Komentar
Posting Komentar