Titik Cinta
MEMO:
Rapat mingguan jam 13.30, di lantai 10. On time.
***
Rapat mingguan, YES! Sorakku membahana. Tentu saja dalam hati. Mana mungkin aku berani berteriak lantang macam itu, di dalam ruangan yang aku bagi dengan tiga orang. Rapat demi evaluasi dan masukan-masukan baru dari setiap divisi ini memang selalu aku tunggu-tunggu di akhir minggu. Aku bukan gila rapat, sama sekali bukan. Yang sebetulnya aku tunggu dari rapat ini adalah kesempatan untuk bertemu pujaan hatiku, sang General Manager. Kami biasa memanggilnya, Pak Bagas.
Nyaris seluruh pegawai wanita di lantai sembilan ini berebut untuk mendapat perhatiannya, walaupun ada beberapa dari mereka yang sudah menikah. Bukan salahku juga kan, kalau aku berusaha untuk ikut terjun di kompetisi ini?. He is my love at the first sight!. Mana mungkin aku tidak ikut getol berusaha mencuri atau mungkin kalau bisa, merebut seluruh hati dan perhatiannya?. Apapun akan aku lakukan demi memenangkannya. Dia memang tidak cukup tampan tapi rahangnya amat sangat tegas. Tinggi sekitar 173 cm, tidak terlalu gemuk tapi juga tidak terlalu kurus. Rambut ikal, hidung mancung, mata yang selalu berpendar hangat. Raut mukanya friendly. Perhatian, loyal, mapan dan....SINGLE!
Sekalipun kesempatanku untuk berhubungan dengan laki-laki istimewa itu tidak terlalu sering tapi bukan berarti aku jadi kehabisan cara untuk menarik perhatiannya kan? Aku berusaha mengerjakan apapun yang dia minta dengan sebaik mungkin, juga tepat waktu. Menawarkan bantuan waktu kulihat dia terlalu bingung dengan tumpukan pekerjaannya. Memberinya waktuku, saat dia sedang teramat murung dan jenuh dengan rutinitas, bahkan saat dia selesai beradu argumen dengan Andre, Property Manager kami. Kadang aku turut membantu menyelesaikan pekerjaannya, jadi dia bisa pulang ke rumah tepat waktu. Singkat kata, aku berusaha memberinya seluruh perhatian yang bisa aku berikan untuknya, demi dia.
Kepadaku, dia memang seperti memberi angin. Sikapnya, perhatiannya, kata-katanya, candaannya bahkan pandangan matanya, ah! Tidak hanya sekali dua kali, dia sering menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang kerja. Jika aku beruntung, sesekali dia mengajakku untuk pergi makan malam terlebih dahulu. Melihat sikapnya yang cukup perhatian kepadaku, wajar membuat beberapa teman kantorku yang iri lalu akhirnya mundur teratur. Sedangkan aku, jelas...semakin terbang ke langit ke tujuh.
Cinta.
Betapa kamu sudah membuatku terlena.
***
I try to discover. A little something to make me sweeter. Oh baby refrain from breaking my heart. I'm so in love with you. I'll be forever blue...
Aku mengusap air mataku yang entah sudah berapa kali berjatuhan satu demi satu, tanpa henti. Jeda di hatiku juga belum kunjung mampu aku isi lagi dengan cerita yang lain. Memoriku masih menancap erat di kejadian siang tadi.
Aku dan Bagas sedang makan siang bersama di sebuah rumah makan bebek tak jauh dari kantor. Setelah hanya tulang-tulang bebek yang tersisa di piring, kami menyempatkan diri untuk mengobrol. Dia membuka obrolan dengan pertanyaan yang sama sekali tidak pernah aku duga.
"Beth, kamu tahu tempat pesan cincin untuk pernikahan dengan kualitas yang cukup bagus? Aku tidak terlalu tahu seluk beluk kota ini, berbeda denganmu. Jadi aku tahu, aku tidak salah bertanya denganmu karena aku tahu kamu pasti mau menolongku. Tiga bulan lagi aku mau menikah dengan Marsha"
"Marsha? Chief of Accounting di kantor kita?"
"Iya, Marshanda Reva Pradikto. Chief of Accounting kita. Kalau Marshanda yang artis itu kan sudah jadi istri orang, hahahaha......"
"Bagas, please...jangan bercanda. Cerita konyol macam apa itu?"
"Beth, aku serius! Menurutmu tampangku lagi bercanda?. Kami memang akan menikah, tiga bulan lagi. Hubungan ini memang sengaja kami sembunyikan tapi sebenarnya, rencana ini sudah kami bicarakan dalam waktu enam bulan terakhir."
"Tapi bukannya kita...eh...maksudku, bukankah kita sudah amat sangat dekat? Dan..astaga... lalu apa arti kedekatan kita selama ini?"
"Astaga! Beth, kamu ternyata sudah salah terka! Selama ini sama sekali tidak ada hubungan dalam bentuk apapun di antara kita. Aku hanya menganggapmu teman, sahabat baik...tidak lebih dari itu. Kamu benar-benar salah menilai kalau mengira aku ada rasa. Tolong, buang jauh-jauh pemikiran dan perasaan seperti itu. Diantara kita, sama sekali tidak ada apa-apa."
Aku mendesah. Beban di hati mendekap terlalu mesra.
***
And if I should falter. Would you open your arms out to me. We can make love not war. And live at peace in our hearts...
Cinta.
Tidak bisakah cinta Bagas itu hanya untukku? Setelah sekian banyak perhatian yang sudah tanpa lelah aku beri. Tidak sadarkah dia dengan semua pengorbanan waktuku? Sedangkan aku selalu ada untuknya, kapanpun itu. Untuk segalanya tentang dia.
Cinta.
Haruskah aku menerima takdirmu yang memilih akhir cerita di titik yang tidak kuingini?
***
Soul, I hear you calling. Oh baby please give a little respect to me...
Rapat mingguan jam 13.30, di lantai 10. On time.
***
Rapat mingguan, YES! Sorakku membahana. Tentu saja dalam hati. Mana mungkin aku berani berteriak lantang macam itu, di dalam ruangan yang aku bagi dengan tiga orang. Rapat demi evaluasi dan masukan-masukan baru dari setiap divisi ini memang selalu aku tunggu-tunggu di akhir minggu. Aku bukan gila rapat, sama sekali bukan. Yang sebetulnya aku tunggu dari rapat ini adalah kesempatan untuk bertemu pujaan hatiku, sang General Manager. Kami biasa memanggilnya, Pak Bagas.
Nyaris seluruh pegawai wanita di lantai sembilan ini berebut untuk mendapat perhatiannya, walaupun ada beberapa dari mereka yang sudah menikah. Bukan salahku juga kan, kalau aku berusaha untuk ikut terjun di kompetisi ini?. He is my love at the first sight!. Mana mungkin aku tidak ikut getol berusaha mencuri atau mungkin kalau bisa, merebut seluruh hati dan perhatiannya?. Apapun akan aku lakukan demi memenangkannya. Dia memang tidak cukup tampan tapi rahangnya amat sangat tegas. Tinggi sekitar 173 cm, tidak terlalu gemuk tapi juga tidak terlalu kurus. Rambut ikal, hidung mancung, mata yang selalu berpendar hangat. Raut mukanya friendly. Perhatian, loyal, mapan dan....SINGLE!
Sekalipun kesempatanku untuk berhubungan dengan laki-laki istimewa itu tidak terlalu sering tapi bukan berarti aku jadi kehabisan cara untuk menarik perhatiannya kan? Aku berusaha mengerjakan apapun yang dia minta dengan sebaik mungkin, juga tepat waktu. Menawarkan bantuan waktu kulihat dia terlalu bingung dengan tumpukan pekerjaannya. Memberinya waktuku, saat dia sedang teramat murung dan jenuh dengan rutinitas, bahkan saat dia selesai beradu argumen dengan Andre, Property Manager kami. Kadang aku turut membantu menyelesaikan pekerjaannya, jadi dia bisa pulang ke rumah tepat waktu. Singkat kata, aku berusaha memberinya seluruh perhatian yang bisa aku berikan untuknya, demi dia.
Kepadaku, dia memang seperti memberi angin. Sikapnya, perhatiannya, kata-katanya, candaannya bahkan pandangan matanya, ah! Tidak hanya sekali dua kali, dia sering menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang kerja. Jika aku beruntung, sesekali dia mengajakku untuk pergi makan malam terlebih dahulu. Melihat sikapnya yang cukup perhatian kepadaku, wajar membuat beberapa teman kantorku yang iri lalu akhirnya mundur teratur. Sedangkan aku, jelas...semakin terbang ke langit ke tujuh.
Cinta.
Betapa kamu sudah membuatku terlena.
***
I try to discover. A little something to make me sweeter. Oh baby refrain from breaking my heart. I'm so in love with you. I'll be forever blue...
Aku mengusap air mataku yang entah sudah berapa kali berjatuhan satu demi satu, tanpa henti. Jeda di hatiku juga belum kunjung mampu aku isi lagi dengan cerita yang lain. Memoriku masih menancap erat di kejadian siang tadi.
Aku dan Bagas sedang makan siang bersama di sebuah rumah makan bebek tak jauh dari kantor. Setelah hanya tulang-tulang bebek yang tersisa di piring, kami menyempatkan diri untuk mengobrol. Dia membuka obrolan dengan pertanyaan yang sama sekali tidak pernah aku duga.
"Beth, kamu tahu tempat pesan cincin untuk pernikahan dengan kualitas yang cukup bagus? Aku tidak terlalu tahu seluk beluk kota ini, berbeda denganmu. Jadi aku tahu, aku tidak salah bertanya denganmu karena aku tahu kamu pasti mau menolongku. Tiga bulan lagi aku mau menikah dengan Marsha"
"Marsha? Chief of Accounting di kantor kita?"
"Iya, Marshanda Reva Pradikto. Chief of Accounting kita. Kalau Marshanda yang artis itu kan sudah jadi istri orang, hahahaha......"
"Bagas, please...jangan bercanda. Cerita konyol macam apa itu?"
"Beth, aku serius! Menurutmu tampangku lagi bercanda?. Kami memang akan menikah, tiga bulan lagi. Hubungan ini memang sengaja kami sembunyikan tapi sebenarnya, rencana ini sudah kami bicarakan dalam waktu enam bulan terakhir."
"Tapi bukannya kita...eh...maksudku, bukankah kita sudah amat sangat dekat? Dan..astaga... lalu apa arti kedekatan kita selama ini?"
"Astaga! Beth, kamu ternyata sudah salah terka! Selama ini sama sekali tidak ada hubungan dalam bentuk apapun di antara kita. Aku hanya menganggapmu teman, sahabat baik...tidak lebih dari itu. Kamu benar-benar salah menilai kalau mengira aku ada rasa. Tolong, buang jauh-jauh pemikiran dan perasaan seperti itu. Diantara kita, sama sekali tidak ada apa-apa."
Aku mendesah. Beban di hati mendekap terlalu mesra.
***
And if I should falter. Would you open your arms out to me. We can make love not war. And live at peace in our hearts...
Cinta.
Tidak bisakah cinta Bagas itu hanya untukku? Setelah sekian banyak perhatian yang sudah tanpa lelah aku beri. Tidak sadarkah dia dengan semua pengorbanan waktuku? Sedangkan aku selalu ada untuknya, kapanpun itu. Untuk segalanya tentang dia.
Cinta.
Haruskah aku menerima takdirmu yang memilih akhir cerita di titik yang tidak kuingini?
***
Soul, I hear you calling. Oh baby please give a little respect to me...
Inspired from "Erasure - A Little Respect"
03.09.2012
Komentar
Posting Komentar