[Review Buku] Bidadari-Bidadari Surga - Tere Liye

Judul: Bidadari-Bidadari Surga
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Republika
Tahun Terbit: Cetakan XXI (Januari 2016)
Jumlah halaman: viii + 363 halaman
ISBN: 978-979-1102-26-1

Blurb:
Laisa, adalah sulung dari lima bersaudara. Dia bersumpah akan memberikan kesempatan pada adik-adiknya untuk menjadi orang-orang yang hebat. Sumpah yang membuat terang-benderang seluruh kisah ini.

Laisa, adalah sulung dari lima bersaudara. Menyimpan seluruh pengorbanannya seorang diri hingga detik terakhir hidupnya. Saat empat adik-adiknya pulang secepat mungkin ke Lembah Lahambay yang indah, menemui Kakak yang membutuhkan mereka untuk pertama kali sekaligus terakhir kali seumur hidupnya.

Novel ini tentang kasih-sayang keluarga, tentang pengorbanan seorang kakak. Kapan terakhir kali kita memeluk adik-adik kita dan berlinang air-mata bilang, meski mereka menyebalkan, kita sungguh sayang pada mereka. Dan sebaliknya, kapan terakhir kita memeluk kakak-kakak kita, dan bilang, meski mereka cerewet, suka menyuruh-nyuruh, kita sungguh menghargai mereka.

***

Dari awal, sebenarnya sama sekali tidak mengharapkan isi cerita yang luar biasa. Sudah cukup banyak buku Tere Liye yang pernah saya baca, jadi kurang-lebih bisa menebak ceritanya tidak akan jauh berbeda dari buku sebelumnya. Walaupun patut diakui, kalau saya mengincar nilai positif yang sering diselipkan oleh Tere Liye di setiap bukunya.

Kenyataannya, memang demikian. Tere Liye mengemas novel ini (setidaknya) 11-12 dengan Serial Anak-Anak Mamak, Eliana-Pukat-Burlian-Amelia. Dari empat novel, dikemas jadi satu, setidaknya begitu. Mulai dari setting cerita, jalan hidup, juga perkara perubahan nasib.

Entah kenapa, bagi saya para tokoh di buku ini terlalu too good to be true. Semua terlihat sempurna. Terlalu sempurna, lebih tepatnya. Bahkan dalam hal lain, rasanya seperti serba ada kemudahan, dan otomatis membuat konflik terasa biasa, karena toh pada akhirnya selalu banyak muncul kemudahan.

Selain Laisa yang jadi tokoh utama, ada pula Mamak Lainuri. Ibu bagi lima anak di cerita ini, yang rela terus bekerja apapun, demi mencukupi kehidupan anak-anaknya seorang diri, setelah Babak (Ayah) meninggal.

Ada pula Dalimunte. Anak lelaki pertama, seorang profesor fisika, yang mulai terlihat cerdas sejak dia masih duduk di bangku sekolah dasar. Proyek pertamanya berupa kincir air untuk menyelamatkan desanya dari ketergantungan hujan yang datangnya tidak menentu.

Ada pula Ikanuri dan Wibisana. Dua anak lelaki yang digambarkan nyaris "kembar", dengan beda lahir hanya sebelas bulan. Umur yang tidak berjauhan, membuat mereka kompak. Termasuk kompak untuk membuat Laisa kerap memukuli mereka dengan rotan. Bahkan, mereka kompak mendapat panggilan "sigung" dari Laisa.

Terakhir, Yashinta. Si bungsu digambarkan sebagai perempuan yang cantik berambut panjang, yang cerdas seperti Dalimunte, namun juga keras kepala seperti Ikanuri-Wibisana. Pencinta alam yang sejak kecil sudah dikenalkan alam oleh Laisa, lewat lima berang-berang yang lucu.

Lima anak tersebut menjalani hidup yang penuh kerja keras. Tapi walau Laisa digambarkan selalu mengingatkan adiknya untuk "Kerja keras! Kerja keras! Kerja keras!", Laisa selalu lebih menekankan pentingnya sekolah. Tak heran kalau Laisa mengamuk ketika ada adiknya yang membolos sekolah.

Walaupun alur ceritanya maju-mundur, tapi sama sekali tidak membuat bingung. Ceritanya saling menyambung dan berkaitan. Pas.

Soal ending, berhubung sedari awal memang sudah tidak berharap banyak, saya cukup suka. Tidak terlalu bahagia, tapi juga tidak terlalu sedih. Semua terasa imbang.

Bicara soal manfaat, seperti biasa Tere Liye mengajarkan (atau mengingatkan) banyak hal. Bahwa kerja keras itu amat perlu ketika kita menginginkan sesuatu, bahkan ketika tidak pun, kita harus tetap berusaha. Bersyukur atas hal sesederhana apapun, karena bisa saja dengan yang sederhana itulah yang Allah suka. Tak perlu berharap terlalu muluk, jalani saja apa yang sudah ditakdirkan.

Selain tokoh yang too good to be true, yang lebih membuat tidak nyaman, masih ada beberapa typo. Juga logika berhitung perkara umur Yashinta. Awalnya digambarkan pada masa kini Yashinta berumur 34 tahun, yang kemudian melakukan flashback ke kejadian 25 tahun yang lalu. Kalau dihitung, seharusnya Yashinta berumur 9 tahun di kejadian masa lalu itu. Tapi ternyata, Yashinta ditulis berumur 6 tahun.

Kalau ditakdirkan bertemu Tere Liye, saya ingin mengucapkan terima kasih untuk epilognya di akhir novel ini. Epilog yang bagi saya sangat "menenangkan" dan tidak menghakimi. Terima kasih.

Tiga bintang untuk keseluruhan isi cerita, dan satu bintang untuk epilog yang luar biasa. Empat bintang untuk Bidadari-Bidadari Surga!

_____
24.02.2016
*ditulis untuk Reading Challenge Februari 2016

Komentar

  1. Tuh kan, saya mengaku suka Tere Liye, tetapi belum ada review bukunya yang ku publish. Semua masih ngedraft, huft!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer