[Prompt #104] Pemeluk Mimpi
![]() |
Sumber: www.travelfish.org |
Kebebasan selalu layak dirayakan. Maka selepas keluar dari penjara, yang diinginkan ialah mengunjungi kedai kopi ini. Kebahagiaan akan semakin lengkap bila dinikmati dengan secangkir kopi. Hanya di kedai kopi ini ia bisa menikmati kopi terbaik yang disajikan dengan cara yang paling baik.
Sudah setengah jam Supri bergeming di tempatnya. Segelas kopi hitam pesanannya sudah berkurang setengah. Di tangannya, ada selembar foto usang. Foto seorang anak lelaki berumur tujuh tahun, sedang tertawa lepas sambil memegang bola. Diusapnya foto itu perlahan, seakan-akan kalau dia berbuat kasar sedikit saja, bisa membuatnya melukai anak itu.
“Piye kabarmu, Le?* Sudah sebesar apa kamu sekarang?” bisiknya.
Terhitung dua setengah tahun, Supri tidak melihatnya. Terakhir, anaknya yang bernama Heru itu menengoknya dengan tatapan marah, sekitar sebulan setelah Supri mendekam di penjara. Tengokan pertama dan terakhir kalinya. Supri masih ingat persis apa yang Heru katakan padanya.
“Gara-gara Bapak maling, aku dijauhi temanku. Jangan berteman sama anak maling. Sekarang nggak ada lagi yang main bola sama aku. Dulu, aku minta sepatu, nggak Bapak dibelikan, sekarang malah maling. Udah diketawain gara-gara sepatuku butut, disebut anak maling pula. Bapak tega! Aku benci punya bapak kayak Bapak! Benci banget!”
Supri mendesah panjang, hingga membuat pekedai yang renta itu meliriknya.
Konon, tak selamanya penjara itu buruk. Supri adalah salah satu orang yang merasakan kebaikan penjara. Sekalipun harus menanggung kebencian anaknya, bahkan juga istrinya yang belakangan tak menengoknya lagi, Supri sadar mencuri itu hal yang buruk. Apapun alasannya.
Iya, apapun alasannya, walau Supri melakukannya demi mendapatkan uang untuk membeli sepatu idaman Heru. Alasan yang belum pernah, dan mungkin tidak akan pernah bisa dijelaskan pada anaknya.
Sekarang dia sudah keluar dari penjara, tapi tak punya nyali untuk pulang. Mana mungkin dia pulang? Kepulangannya hanya akan membuat luka yang sudah mengering, jadi basah kembali. Keluarganya sudah membencinya. Kalau tidak, mereka pasti rajin menengoknya, kan?
Supri berpikir, mungkin jika ia mampu membeli sepatu, lalu membuat kejutan, siapa tahu kesalahannya dimaafkan. Raut mukanya cerah, sebelum akhirnya murung lagi. Gamam dari mana bisa mendapat uang.
Apalah yang bisa diharapkan dari seorang bekas narapidana dan hanya lulusan SMP? Bertato pula!
Kedai makin ramai. Pekedai kewalahan melayani pengunjungnya sendirian. Melihatnya, Supri tergerak untuk membantu. Bukan sekadar membantu, tapi bekerja padanya. Supri ingin bekerja, punya uang, lalu membelikan anaknya sepatu baru. Ide yang bagus, pikirnya, sebelum kemudian kubra, ragu apa pekedai mau menerimanya.
Supri memberanikan diri menyampaikan niatnya, dan ternyata diperbolehkan langsung bekerja. Pekedai memang mencari orang untuk membantunya. Dia renta, tak sanggup lagi bekerja sendirian sejak anak perempuannya meninggal sebulan lalu.
Hari beranjak sore. Supri mulai terbiasa melayani pelanggan yang datang silih berganti. Bayangan sepatu baru terus melintas.
"Mas, kopi susu satu, trus kamu apa, Nak?" ujar pelanggan barunya, sambil bertanya pada anak lelaki di sebelahnya yang asyik bermain gadget.
"Susu coklat hangat aja, Pak." jawabnya tanpa mengangkat kepala.
Supri segera membuat pesanan. Ketika mengantar, Supri sengaja memberi perhatian khusus. Anak itu mengingatkannya pada Heru.
"Susunya, Nak, mumpung masih hangat."
Anak itu mengangkat kepalanya. Supri melongo seketika.
"Heru?"
_____
27.02.2016
*487 kata, tanpa judul dan catatan kaki
*Piye kabarmu, Le? --- Bagaimana kabarmu, Nak? (Le, dari kata Thole, anak laki-laki. Bahasa Jawa)
Itu beneran Heru? Kok sekarang mainannya gadget? Dapat duit dari mana? Ibunya nikah lagi?
BalasHapus