Coba Kau Bayangkan
Kepada Nadia,
Isi surat ini membuatku tersenyum ketika
tiba di paragraf yang berisi ceritamu tentang bagaimana kau bertemu Tabby. Kebingungan
juga kepanikanmu, sekarang mungkin jadi kenangan tersendiri yang sulit
dilupakan, seperti kenanganku bertemu dengan Belang. Bertemu dengan sosok
kesayangan memang selalu punya cerita tersendiri, ya?
Aku tidak menyangka bisa ada sebuah
hubungan pertemanan yang terjalin hanya karena memiliki kehebohan yang sama
karena hewan. Hal biasa yang bagiku tidak biasa. Hal lumrah yang sejatinya
tidak lumrah di mataku. Tapi, itu adanya kita yang (terlalu) menggilai makhluk
Tuhan berkaki empat dan bersuara meong. Benar, kan?
Nad,
Ketika aku menulis surat ini, aku
mengandaikan riuhnya isi kepalaku bagai keadaan jalanan Surabaya yang macet di
jam pulang kerja. Suara klakson yang bertautan tanpa henti karena saling ingin
segera sampai di rumah dan berkumpul lagi dengan keluarga. Belum lagi kalau
hujan sedang deras-derasnya seperti beberapa hari terakhir. Para pengemudi
sepeda motor yang berdesakan demi menghindari genangan air hujan, ditambah mereka
yang mengemudi kendaraan roda empat, merasa lajurnya diambil tanpa menyisakan
ruang gerak sedikit pun.
Keriuhan itu, Nad, berawal dari kegelisahanku
karena akhir-akhir ini banyak berita tentang hewan yang menderita dan merasakan
sakit yang seharusnya tidak mereka rasakan.
Kucing yang dua kaki depannya diikat erat
dengan karet gelang, seperti yang beberapa hari yang lalu aku bagi di jejaring
sosial facebook, misalnya. Sampai detik ini, aku belum juga menemukan alasan
yang tepat kenapa bisa ada manusia yang tega memperlakukan binatang seperti
itu. Apa salah kucing itu, sampai dia bisa mendapat perlakuan yang membuatnya
kesulitan berjalan? Kesakitannya itu bagiku, adalah sakit yang tidak seharusnya
dia rasakan. Bisakah si pelaku membayangkan, bagaimana rasanya seandainya dia
ada di posisi kucing itu? Sungguh, Nad, aku tidak habis pikir…
Kegelisahanku yang kedua, asalnya dari seekor
hiu paus seberat enam ton yang akhirnya mati, pasca seminggu terdampar di PLTU
Paiton. Menurut cerita yang kudapat dari seorang teman, makhluk yang bernapas
dengan insang itu meregang nyawa karena luka yang ada di thorax (tempurung
kepala) dan pangkal ekor, yang entah disebabkan oleh apa. Hiu paus yang
seharusnya hidup berkoloni, memilih memisahkan diri demi bisa melakukan penyembuhan.
Keputusannya memisahkan diri, membawanya
menemukan aliran air hangat yang menuju ke kanal PLTU. Suhu air di kanal memang
hangat, tapi justru itulah “petaka” baginya. Dia akhirnya harus melawan kuatnya
sedotan pompa kanal yang kekuatan laju arusnya sampai 120 km/jam. Ditambah lagi,
di kanan-kiri lokasi terdamparnya, penuh dengan aliran listrik.
Bisa kau bayangkan, Nad?
Dia terluka, memilih menyendiri untuk
menyembuhkan diri, menemukan perairan hangat, tapi justru membuatnya harus "menyerahkan
nyawa".
Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, Nad. Sama
sekali tidak. Apalagi atas luka-luka di tubuhnya yang entah karena apa. Sekalipun
hiu paus itu hidup, mungkin hidupnya juga akan menderita. Aku hanya ngilu
membayangkan bagaimana hiu paus ini “mengambil keputusan” yang justru harus
membuatnya meregang nyawa. Hal yang mungkin saja bisa terjadi pada kita. Mengambil
keputusan yang ternyata salah, dan tidak sesuai dengan harapan kita.
Akhir kata, sebelum aku membuatmu bosan
dengan isi suratku yang aneh ini, aku berdoa semoga kita selalu diberikan
kemudahan juga ketepatan dalam mengambil keputusan. Sekalipun ternyata itu
bukan keputusan yang tepat, semoga kita tetap dilimpahi hal-hal baik.
Aamiin.
Tertanda,
Yang kau panggil “Mamanya Belang”
PS:
Karena aku berharap suatu hari nanti kita bisa bertemu,
jaga dirimu baik-baik di pulau Celebes, ya.
Baru tau pulau Celebes itu :)
BalasHapus