Mencintai Cinta
Dia
pernah mengajariku bagaimana cara menikmati pagi. Duduk di teras belakang rumah
kami yang mungil, ditemani dua cangkir kopi, sambil menanti terbitnya sang
surya. Sesekali dia akan meletakkan kepalanya di bahuku dan aku akan dengan
senang hati memeluknya dari samping. Sesederhana itu. Hening, tenang, syahdu.
Pernah
pula dia menunjukkan cara berakrab-akrab dengan alam. Turun tanpa alas kaki ke
kebun yang penuh rumput, dengan titik-titik embun. Dengan semangat
menggebu, dia menjelaskan betapa embun amat baik bagi manusia.
“Bisa
bikin berat badan turun, darah jadi encer. Yang paling penting, bisa nurunin
kadar kolesterol juga.* Jadi bisa terus makan enak! Tinggal injak embun,
kolesterolnya turun deh. Hehehe…”
Aku
menyeringai, mengingat aku langsung mencubit gemas pipinya, tepat setelah dia
mengakhiri ocehannya dengan sebuah senyum jenaka.
Seekor kupu-kupu melintas, lalu hinggap di sebuah bunga mawar yang ada di kebun kami. Aku
ingat betapa dia begitu percaya mitos, yang entah dari mana asalnya, “kalau ada
kupu-kupu lewat di dekatmu, berarti ada anggota keluargamu yang sudah meninggal,
mendatangimu.”
Terkadang
dia memang aneh, dengan caranya sendiri.
Kenangan
demi kenangan tentangnya muncul satu per satu. Aku mendesah. Untuk selanjutnya,
hanya kenangan-kenangan itu yang bisa menemaniku menikmati pagi. Besok dia akan
pergi meninggalkanku. Pergi dari rumah yang kubangun khusus untuknya.
Mulai
dua tahun yang lalu, aku tahu ada yang berbeda darinya. Dia mulai jarang menghabiskan
waktunya denganku. Aku memang hanya lelaki biasa, tapi aku punya hati. Dan
hatiku mengatakan, ada cinta lain yang tinggal di hatinya. Cinta dari laki-laki
lain.
Aku
kalut. Seketika membenci laki-laki yang sudah berhasil mencuri perhatiannya.
Aku limbung, tidak percaya masa bahagiaku dengannya akan segera berakhir. Parahnya,
aku harus mengakui kalau laki-laki itu memang jauh lebih menarik daripada aku.
Lebih enerjik, tampan, dan yang lebih penting, lebih mencintai wanitaku.
Aku
cemburu. Dia itu wanitaku! Berani sekali laki-laki itu merebutnya?
Aku
ingat dengan jelas, bagaimana aku menangis tersedu, tepat di hari dimana dia
mengaku memiliki cinta yang sama dengan laki-laki itu. Ya Tuhan, sampai hati
dia mengakui segalanya, sedangkan aku tidak mungkin mengalihkan cintaku kepada
wanita lain. Seluruh cinta, bahkan hidupku hanya untuk dia.
Rasa
cemburuku menggila dan aku tenggelam di dalamnya.
Tapi
ternyata, semakin aku cemburu, sama artinya aku semakin menyakiti diriku
sendiri. Semakin mengekang kebahagiaannya. Aku bisa apa, kalau memang aku tidak
bisa lagi membuatnya bahagia? Sekalipun aku memaksakan diri, kebahagiaannya
bukan lagi denganku. Waktuku sudah habis, tamat. Jika aku tidak bahagia,
haruskah mengorbankan kebahagiaannya juga? Tidak, kan?
Mencintai
itu sama sekali tidak mengajarkan kita untuk egois, ya, kan?
Sebuah
tepukan lembut di bahu, membuatku sadar dari lamunan. Aku menemukannya berlutut
di sebelahku. Hari ini dia terlihat amat cantik, dengan riasan yang tidak
terlalu mencolok, tapi justru memancarkan kecantikannya. Beberapa untai
rangkaian bunga melati tersemat di sanggul yang terpasang di kepalanya.
“Sekarang?”
tanyaku.
Dia
mengangguk sambil tersenyum.
Aku
menariknya ke pelukan dan mencium keningnya dengan perlahan.
Aku
tidak bisa lagi menahan air mata.
“Kamu
cantik, Sayang. Sungguh mirip dengan almarhumah Mamimu.”
Sekali
lagi dia tersenyum. “Terimakasih, Papi. Terimakasih untuk semua yang sudah Papi
lakukan, demi Cinta.” ujarnya sambil menitikkan air mata dan mencium tanganku.
Aku
tersenyum, lalu menghapus air mata di pipinya. “Jangan menangis, bidadari
kecilku. Ayo, berdirilah. Papi akan mempersembahkan cinta Papi yang paling
besar, menikahkan kamu dengan Ardi, laki-laki pilihanmu.”
***
02.07.2013
ditulis untuk meramaikan
tantangan FF kedua #proyekcinta - @bintangberkisah
---
Catatan:
kerrreeeeen!! salam kenal ya ^^
BalasHapustryamoore.blogspot.com
seperti puisi ini yah :D
BalasHapus@trya: helloo...makasih sudah mampir. salam kenal juga ^^
BalasHapus@om dege: mirip puisi ya? mungkin karena pemilihan kata sama cara penulisan, hehehe :D
hai, onty,
BalasHapusaku taunya kalo ada kupu-kupu masuk rumah tandanya ada tamu..
kerasa banget perasaannya di tulisan ini
BalasHapus@ika: eh, iya kah? hahaha, aku malah baru denger soal itu..
BalasHapus@pringadi: waa...terimakasih. itu pujian, kan? :D
Kerasa banget perasaan seorang ayahnya. Keren ^^b
BalasHapus@evi: aakkk...ternyata berhasil munculin perasaan ayah. makasih Evi... :*
BalasHapusSudah bisa menebak "aku" di sini adalah sang Ayah. Tapi teteup tulisannya keren, alurnya ngalir, dan diksinya ajeb. As always, I love your posts! :3
BalasHapus