[BeraniCerita #21] Antara Aku dan Kolak Pisang

dari: beranicerita.com

“Kolaknya enak. Rasa manisnya pas. Kamu pinter buatnya, Na. Eh, Tante mau, lho, kalau kapan-kapan dibuatin kolak kayak gini lagi.”

Batinku bersorak. Yes! Ibunya Reno suka sama kolaknya!

Hari ini, Reno, pacarku, mengajakku ke rumahnya untuk berbuka puasa bersama ibunya. Beberapa hari sebelumnya, Reno sempat cerita kalau ibunya suka sekali kolak pisang. Dari cerita itu, aku pun berniat membawakan beliau kolak pisang. Kesan pertama ketemu calon mertua harus berkesan, kan?

Tapi berhubung aku belum bisa (belum bisa, ya, bukan nggak bisa) bikin kolak pisang, aku memutuskan untuk beli di kedai Bu Sri. Kebetulan aku sudah langganan di situ, dan kolaknya memang terkenal enak.

Pukul empat, aku berangkat ke kedai Bu Sri. Untung masih keburu. Kolaknya tinggal lima bungkus, dan langsung aku borong semua. Telat lima menit aja, pasti nggak akan kebagian. Kolak Bu Sri memang enak, sih. Wajar kalau banyak yang beli.

Persis waktu Bu Sri kasih uang kembalian, ada perempuan yang mau beli kolak juga. Sebenarnya sempat kasihan sama perempuan itu. Dia niat beli kolak yang ada di tanganku, satu bungkus aja. Buat pacarnya, katanya. Tapi dengan wajah yang sengaja dibuat lebih memelas, aku menolak. Alasanku, kolak itu buat kakakku yang sudah berhari-hari ngidam makan kolak. Untungnya, perempuan itu bisa terima.

Sampai rumah, aku memindahkan kolak ke wadah anti tumpah. Tujuannya jelas, kan? Biar nggak ketahuan kalau itu kolak hasil beli, bukan buatanku sendiri.

Aku tertawa geli. Duh, hari ini aku jadi banyak bohong, ya? Hehehe, untung aja aku lagi nggak puasa. Menstruasi, kau menyelamatkanku!

Dan kini, semua perjuanganku demi kolak Bu Sri, terbayar juga. Penilaian baik sudah aku terima dari ibunya Reno. Masalah suatu saat tiba-tiba diminta buat masakin khusus, dipikir belakangan aja lah. Kalau perlu, nanti belajar dulu ke Bu Sri. Biar sama enaknya.

Di tengah obrolan, tiba-tiba kami mendengar suara pintu depan terbuka. Ibunya menengokkan kepalanya ke arah depan, lalu pandangannya beralih pada Reno, “Kayaknya adikmu pulang, Kak. Coba kamu lihat sana.”

Reno menurut dan segera beranjak dari meja makan, tempat kami berkumpul. Tak lama kemudian, Reno kembali ke meja makan, bersama adiknya dan seorang perempuan.

“Na, kenalin ini Ridho, adikku. Sekalian kenalin juga, ini Annisa, pacarnya Ridho.”

Aku tersedak.

Astaga! Itu perempuan yang tadi aku temui di kedai Bu Sri!

16.07.2013

Words: 365