Tarian Delia
Aku pertama kali melihat wanita
itu, di lapangan depan rumahku pada tanggal tiga Februari dua ribu sembilan.
Dia datang tepat pukul delapan malam. Aku baru menyadari kehadirannya setelah
persis satu bulan kepindahanku ke rumah yang aku kontrak bersama lima orang
temanku, tak jauh dari tempat kami bekerja. Aku tidak akan menangkap
bayangannya kalau saja malam itu aku tidak memutuskan untuk bersantai di balkon
rumah, menikmati malam dengan segelas teh beraroma strawberry. Dia datang
dengan langkah ringan, sambil membawa satu buah buku yang tampaknya sudah
sangat sering berakrab-akrab dengannya.
Ada daya magnet yang menarikku
untuk terus memperhatikannya. Dengan bantuan cahaya lampu halogen yang
menerangi lapangan, sekilas aku melihat dia adalah seorang wanita berkulit
bersih dengan rambut sebahu dan dianugerahi kaki yang cukup jenjang. Aku tidak
begitu jelas melihat parasnya karena jarak yang memisahkan kami. Aku harap, dia
cukup cantik. Semoga saja penilaian indera penglihatanku tidak salah menilai.
Awalnya, dia hanya sekedar duduk
di salah satu deretan bangku di lapangan yang terbuat dari campuran semen dan
air. Melihat dari akrabnya dia dengan lapangan itu, aku menebak, ini bukan
malam pertamanya hadir di sini. Tak lama, aku melihat dia larut dalam buku yang
dia bawa tadi. Menuliskan sesuatu, entah apa. Setelah beberapa aksara dia
tulis, dia berhenti, menengadahkan kepala lalu memejamkan matanya dengan wajah sendu.
Kemudian, aku melihatnya berdiri
lalu berjalan ke tengah lapangan. Dia membuat gerakan tangan memeluk dirinya
sendiri. Mungkin dia berharap dipeluk seseorang, begitu pikirku. Badannya mulai
bergerak pelan, seakan sedang mendengar sebuah melodi lewat alam bawah
sadarnya. Tiba-tiba tangannya bergerak ke udara, kanan lurus ke samping dan
kiri membentuk setengah lingkaran ke depan, seakan di hadapannya ada seseorang
yang menemaninya. Perlahan, dia mulai melangkahkan kaki. Dia menari. Berdansa
dengan bayangan imajinasinya. Terus seperti itu dan berhenti tepat saat jarum
jam di dinding rumahku berhenti di angka sembilan. Aku melihat, bibirnya sempat
bergerak, berucap sesuatu yang tak kudengar. Mungkin itu semacam ritualnya
karena tak lama kemudian, dia bergegas mengambil buku yang tadi dia tinggalkan
lalu berlari ke arah salah satu jalan di seberang rumahku. Aku terus memperhatikannya
hingga netraku tidak lagi mampu menangkap bayangannya.
Esoknya, dia muncul lagi. Begitu
juga esoknya, esoknya lagi, terus seperti itu. Selalu dengan ritual yang sama.
Tetap dengan wajah sendu yang enggan pergi dari wajahnya. Hingga tepat pada
hari kesepuluh aku melihatnya, aku sudah berada puncak rasa penasaranku tentang
siapa wanita itu sebenarnya dan akhirnya terbit tekad bahwa besok, aku akan
ikut turun ke lapangan dan mengajaknya bicara. Berdua.
Di hari kesebelas, tepat tanggal
empat belas Februari, dia datang lebih awal dari biasanya. Tak lama setelah dia
mulai dengan tarian dansa imajinasinya, aku keluar rumah lalu menghampirinya.
Butuh waktu sekitar sepuluh menit, hingga akhirnya dia menyadari keberadaanku
di deretan kursi yang biasa dia tempati, menemani bukunya yang dia tinggalkan
teronggok begitu saja.
Dia terkejut sesaat dan akhirnya
menghampiriku. Aku berinisiatif membawakannya segelas teh dengan aroma yang
sama, seperti yang biasa aku minum. Dia menerima gelas yang aku sodorkan dengan
pandangan ragu-ragu. Kami saling memamerkan senyum. Dia seakan tahu, aku
bermaksud baik dan hanya ingin mengajaknya ngobrol.
Delia. Itu namanya. Aku membuka
obrolan dengan menceritakan ritualku setiap malam, melihatnya berdansa di atas balkon
rumah. Dia tersenyum.
“Aku mencintai dansa. Teramat
cinta seperti aku begitu mencintai Derry, laki-laki yang mengenalkan aku pada
dansa. Kalau kamu sering melihatku menulis sebelum menari, itu tulisan ungkapan
rinduku padanya. Berharap, buku itu jelmaan dari Derry yang biasa menemaniku
berdansa. Setidaknya aku berharap Derry tahu, aku masih menarikan tarian yang
sama seperti yang biasa kami lakukan. Ketika kami masih menjadi sepasang
kekasih sampai akhirnya enam bulan lalu kami berpisah. Sejak itu, aku selalu
menari di sini. Tempat aku bisa menari bebas dengan imajinasi liarku”, Delia
diam sesaat, menghembuskan sebuah nafas panjang lalu melanjutkan, “tapi kamu
tenang saja, ini malam terakhirku menari. Besok, kamu tak akan menemuiku lagi
menari di sini”.
Aku mengernyitkan dahi. Berharap
ada kekuatan dari hati untuk sekedar bertanya kenapa dia berhenti menari, saat
aku sudah mulai terbiasa dengan ritual malamku. Tapi ternyata, aku tak sampai
hati. Aku sudah cukup pilu mendengarkan kisah tentang dua cinta yang dia punya,
dansa dan Derry.
“Sudah malam, aku harus segera
pulang”, ujarnya mengakhiri perjumpaan kami. Dia segera bangkit dari duduknya
dan tidak keberatan jika aku menemaninya pulang, sampai di rumahnya. Setelah
aku menaruh dua gelas bekas teh kami di teras rumah, aku berlari menghampirinya
dan kami pun mulai berjalan berdampingan. Kami berjalan dalam diam dan ternyata,
rumahnya tidak terlalu jauh dari lapangan. Rumah ke tiga setelah satu belokan
ke kiri.
Dia sudah masuk ke halaman
rumahnya hingga tiba-tiba, seakan bisa membaca pikiranku dia berucap, “Kalau
kamu ingin tahu kenapa ini malam terakhirku menari, hari ini, Derry mengucapkan
janji sehidup semati di hadapan Pendeta, dengan wanita pilihan orang tuanya.
Hubungan kami tidak pernah mendapat restu. Kami jauh berbeda. Lebih tepatnya,
keyakinan kami yang berbeda”, sambil mengambil dan menunjukkan padaku sebuah
undangan berwarna ungu tua dari buku yang biasa dia bawa.
Hatiku kebas. Hilang kata. Aku memilih
segera berpamitan.
“Selamat malam, Delia…”
02.10.2012
Di dini hari
Merangkai aksara “ditemani” @baskorodien menjelajah my red strawberry
Komentar
Posting Komentar