Jodoh Impian


Andai kamu bisa memilih jodoh impianmu semudah membalikkan telapak tangan, sosok seperti apa yang akan kamu pilih? Tampan, anak tunggal dari keluarga kaya, sabar, punya hobi yang sama? Atau apa? Bersyukurlah yang banyak, kalau jodohmu nanti sama persis dengan apa yang kamu impikan atau paling tidak, hampir mirip. Sungguh, bukankah itu menyenangkan dan semacam berhasil menggapai cita-cita ingin jadi dokter ala anak kecil?

Versi Maura, sahabatku di kampus, “Mana ada jodoh impian? Mimpi! Yang ada, semakin kita berharap jodoh kita seperti apa, nantinya pasti ketemu sama yang enggak sesuai harapan. Bisa jadi malah berbanding terbalik atau seenggaknya, cuma mirip satu atau dua hal aja”.

Apapun kata Maura tapi bagiku, jodoh impian itu seperti Bintang, seorang laki-laki yang aku temui ketika kami sama-sama mengambil mata kuliah Aspek Hukum Praktek Perbankan. Sosok hitam manis yang kalem juga tidak membosankan, berkacamata dengan pemilihan frame yang tepat tapi gagal menyembunyikan tatapan matanya yang tajam (dan akhirnya membuatku semakin terpesona), senyum menawan, walaupun sedikit pendiam.

Kami dipertemukan pertama kali lewat tatapan mata selama sepersekian detik. Singkat tapi bermakna. Penuh arti. Tatapan yang seakan berbicara bahwa kami sudah pernah bertemu dan saling mengenal sebelumnya. Dimana? Entahlah, kami tidak perlu dan tidak mau tahu soal itu. Kami sudah saling terbelit pesona tanpa mau repot mencari apa alasannya. Bukankah mata itu jendela hati? Indera ciptaan Tuhan yang menunjukkan apa isi hati yang kita rasa saat itu. Eyes will never lie…

Setelah tatapan pertama itu, kami seakan sepakat saling bertahan untuk tidak mencari tahu identitas masing-masing. Namanya pun, aku tahu dari Maura, yang suatu hari tanpa sengaja memberitahuku. Lebih dari itu, kami saling diam. Hanya mata yang rajin berbicara dari tabrakan-tabrakan pandangan di setiap kuliah. Sekali. Dua kali. Berkali-kali. Sesekali saling bertukar senyum. Walaupun begitu, aku tetap ragu untuk maju lebih dulu. Perempuan pantang memulai, itu tugas laki-laki, begitu pikirku sedikit egois. Aku sabar menunggu, sampai kapan pun itu.

Dan ternyata, kesabaranku toh akhirnya berbuah manis. Tepat setelah Ujian Akhir Semester berakhir di bulan Juli, iseng aku membuka facebook, demi membuang penat soal-soal yang luar biasa menguras daya pikir otak. Aku sedang bersenandung Exit Wounds milik The Script, ketika aku menemukan 1 friend request di sana. Dengan hati penasaran tapi tanpa minat, aku memaksakan hati, melihat siapa gerangan yang sudah memintaku untuk menjadi temannya. Klik! Bintang Prakasa Wibawa? Bintang! Si jodoh idaman! Aaaaaaaa……aku menjerit sejadi-jadinya, walaupun hanya dalam hati. Mimpi apa aku semalam? Harapanku mulai terwujud, dia akhirnya berani untuk maju lebih dulu. Ya, walaupun bukan kenalan secara langsung, bukan masalah juga kan? Dengan hati ringan, aku mengarahkan anak panah dan klik…confirmed!. Ahh, ujiannya sudah lewat, mau nilai bagus atau jelek, yang penting Bintang maju duluan. Hehehehe…

Dari situ, kami jadi lebih akrab. Fitur message memudahkan kami untuk berkomunikasi tanpa perlu takut untuk dengan mudah tertangkap basah oleh teman-teman kami. Ini kesepakatan yang kami buat berdua, walaupun tak pernah sekalipun terucap kata sepakat dari bibir kami. Entahlah, kami seakan memiliki sandi rahasia untuk saling berjanji menyembunyikan segalanya dari dunia luar. Ini dunia kami.

Dan ternyata, sosok Bintang itu jauh lebih mempesona daripada yang aku bayangkan. Dia seorang advokat dengan umur yang relatif muda. Ketagihan travelling juga fotografi. Dan sama sepertiku, dia penggila musik dan sudi tenggelam dalam tumpukan buku demi memuaskan hobinya membaca. Fiksi maupun non fiksi. Dari Kahlil Gibran sampai Alberthiene Endah. Mulai Burgerlijk Wetboek sampai La Tahzan. Apapun itu. Hobinya membaca, berhasil mengaktifkan setiap sel neuron di otaknya dan membuatnya aktif menulis, baik sastra maupun tulisan yang tidak jauh dari dunia kami, dunia hukum.

Bukankah tidak ada yang lebih menyenangkan daripada dekat dengan seseorang, yang punya kegemaran sama seperti yang kita suka?

Semakin hari, aku semakin menemukan kenyataan bahwa hubungan kami menjadi semakin akrab. Satu demi satu kesamaan terus muncul di permukaan. Jodoh impian sudah nyata ada di hadapan mata. Menyenangkan bukan? Ditambah mendapat perhatian demi perhatiannya yang mengalir deras tertuju padaku, walaupun (lagi-lagi) hanya lewat message facebook. Memang sekedar hal yang biasa, seperti mengingatkan untuk tidak terlambat makan siang (hal yang seringkali aku lewatkan). Tapi lagi-lagi, yang lebih penting itu, perhatian dari jodoh idaman!

Sebut saja kami egois, karena kami tetap menolak berbagi cerita dengan dunia luar, sekalipun dengan Maura. Kami menganggap dunia seakan-akan tempat yang penuh dengan makhluk jahat, yang sewaktu-waktu punya kekuatan ajaib untuk memisahkan kami berdua. Kami memang seperti katak dalam tempurung, tapi dalam arti yang jauh berbeda. Tempurung ini sengaja dibuat dan kami nikmati bersama, sepanjang waktu. Menghiasnya detail demi detail, mengisinya dengan hiasan gelak tawa, lalu melukisnya lewat tatapan demi tatapan mata di tengah perkuliahan tanpa seorang pun yang tahu. Sekali lagi, inilah dunia kami.

Di bulan ketiga setelah hubungan katak dalam tempurung yang kami jalani, semua masih berjalan seperti yang kami ingini, yang kami sepakati. Segala detail, hiasan dan tatapan curi pandang masih penuh mengisi buku harian di dunia kami. Tatapan mata semakin enggan mendustai apa yang kami rasa tapi tidak sekalipun dari kami yang sudi melafalkannya lamat-lamat. Kami sadar bahwa di situ, mulai ada perasaan sayang tiada terperi. Semua berjalan seperti biasa, sampai akhirnya petaka itu datang…

“Sayang, aku perhatiin, akhir-akhir ini Bintang Prakasa Wibawa sering banget kasih tanggapan ke status facebook yang kamu buat, dia itu siapa?”

Oh, GREAT! Ini lebih dari bencana kalau sampai Bram sudah mulai tanya-tanya macam. Oke, biar aku jelaskan. Sebenarnya, jauh sebelum aku mengenal Bintang, aku sudah punya pacar, Bram namanya. Sosok laki-laki yang (mungkin) merupakan jodoh impian bagi perempuan lain. Seorang dokter yang sedang mengambil spesialis Telinga Hidung Tenggorokan, sabar juga humoris. Sosok yang membebaskanku melakukan apapun yang aku mau tapi dengan caranya, dia tetap penuh perhatian. Sebenarnya kurang lengkap apa Bram, sebagai jodoh idaman? Ditambah, orang tua kami sudah saling mengenal satu sama lain. Jadi, sekali lagi aku tanya, apa lagi yang kurang dari Bram? Hampir tidak ada!

Oke, semoga jawabanku cukup meyakinkan Bram. “Dia teman kuliah S2-ku, sayang. Pas ngobrol bareng, baru ketahuan kalau dia itu masih saudara jauh dari Adisti, temanku yang pernah aku kenalin pas kita ketemu di Grand City itu lho” aku asal menyebut nama temanku. “Kapan itu, aku sama Bintang kebetulan satu kelompok buat kerjain tugas dari Prof. Eman, ya setelah itu aku jadi akrab sama dia, saling add friend di facebook. Udah, gitu aja kok”, jelasku sambil menahan nafas, berharap penjelasanku bisa diterima.

“Cuma itu aja? Kamu yakin, Bintang ini bukan lagi pedekate ke kamu? Aku juga cowok lho, aku tahu gimana cara cowok buat cari perhatian ke cewek yang dia suka”, cecar Bram

“Haduh, Bram…yakin! Ini cuma hubungan antar teman sekelas aja, enggak lebih dari itu. Lagian, aku enggak suka sama tipikal cowok kayak Bintang itu kok. Kamu jauh lebih baik dari dia, sayang”

Bram diam sesaat, jelas dia sedang berpikir. “Benar ya? Sekedar teman aja, enggak lebih dari itu?” Aku mengangguk cepat. “Aku mohon ya, aku berharap hubungan ini bisa terus lanjut, ke jenjang yang lebih serius. Sama kayak yang diharapkan orang tua kita”

Aku tertegun lalu menggumam dalam hati, “Penjelasan sama pikiranmu, kenapa harus jauh kayak gitu?”

Bram melanjutkan, “Aku sama sekali enggak mau larang kamu buat berhubungan sama siapa pun tapi tolong jaga kepercayaan yang sudah aku kasih, ya? Janji?”

“Iya Bram, aku janji bakal jaga kepercayaanmu”

“Oke, makasih sayang. Sudah, enggak perlu dibahas lagi. Terus sekarang, aku punya sesuatu buat kamu. Ini dia, tadaaaa….”

Bram mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan kini, di genggamannya ada sebuah gelas dan botol minum dari plastik bergambar Donald Duck, kartun favoritku.

“Aaaa…..Bram, ini lucu banget! Makasih sayang. Kamu baik deh!”

“Sama-sama, kebetulan aku lihat barang itu pas tadi diajak sepupuku jalan-jalan ke Toys City. Kamu suka?”

“Suka, suka banget! Kamu tahu banget kalau aku suka Donald Duck…” sahutku sambil menghambur ke pelukannya.

Bram menyambut pelukanku dengan sayang. Sambil membusai rambutku yang panjang dengan sayang, dia mengecup pipi kananku sekilas, lalu berbisik, “I love you, sayang. Please, jangan ada lagi cerita lanjutan soal Bintang. Aku mau kamu, satu, utuh. Bukan untuk berbagi sama laki-laki lain.”

Dalam pelukan Bram, aku mengangguk pelan. Sebatas dia merasa kalau aku mengiyakan permintaannya. Tapi, enggak ada yang salah dengan tetap mengagumi Bintang sebagai jodoh impian kan?


Cerita boleh selesai tapi kalau nyatanya rasa yang belum bisa (dan enggan) disudahi, aku bisa apa?


Aku tersenyum simpul di balik pelukan hangat Bram.


And it was enchanting to meet you
All I can say is I was enchanted to meet you

“Taylor Swift – Enchated”



- THE END -


18.10.2012

Komentar

Postingan Populer