Karena Kita (Sungguh) Berbeda
Ini percakapan singkat antara saya dan mama, persis waktu saya berpamitan mau berangkat kerja.
"Ga pengen bawa pisang rebus ke kantor?", kata mama sambil menunjuk sepiring pisang rebus yang masih hangat.
Setelah berpikir sebentar, saya pun menjawab "hmm...ga usah deh, ma"
"Anak-anaknya mama ini kok ga ada yang nurun suka makanan favoritnya mama", balas mama sambil tersenyum
"Emang makanan favoritnya mama apa?"
"Ketan bubuk, mama suka tapi anak-anaknya mama ga ada yang suka"
"Yahh, mam...ya maaf kalau ketan bubuk, kan aku memang ga suka ketan"
"Itu padahal papamu juga suka sama ketan bubuk. Ini ga tau, anak-anaknya mama pada nurun makanan favoritnya siapa"
Jawaban terakhir mama, mendadak buat saya merenung sekilas. Ah, apa begitu mudahnya menilai seseorang dari makanan favoritnya? Saya bukan protes atau marah ke mama, cuma yahh...kenapa mikirnya sebegitu amat sih?
Setelah diam sesaat, saya pun mencoba menjawab dengan nada bicara yang amat sangat diusahakan sewajar mungkin (karena takut mama menilai saya marah)
"Nah kan mam...masalah makanan favorit aja, belum tentu anak itu nurun dari favorit orang tuanya. Padahal, itu masalah simpel kan? Apalagi nanti soal sifat atau pilihan hidup, setiap anak punya pilihan hidupnya masing-masing, ga mungkin juga dipaksain buat jadi sama kayak orang tuanya kan?"
Mama terdiam. Saya bergegas ke kantor, setelah mengucap salam.
Di tengah perjalanan, saya terus berpikir tentang percakapan singkat itu. Bukan berarti saya dalam waktu belakangan ini ada kontra pendapat dengan mama, bukan itu. Hanya saja, saya ingin lebih mengingatkan mama juga diri saya sendiri bahwa dengan keadaan apapun, kita tidak akan bisa memaksakan kehendak yang kita punya pada orang lain. Kehendak orang tua seringkali bukan kehendak yang sama dengan anaknya, sekalipun orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Kebebasan itu mutlak, asal masih dalam koridor yang tepat dan kita berani bertanggung jawab atas pilihan yang sudah kita pilih. Itu menurut saya.
Dan akhirnya, tepat ketika saya menulis tulisan ini, saya semakin tersadar. Bagaimana pun adanya, ingat...kita semua, tidak pernah sama. Tidak akan pernah sama. Allah Yang Maha Baik menciptakan kita beragam, mari kita hargai dan syukuri keragaman itu.
Karena buat saya...perbedaan itu, bukan untuk diperdebatkan tapi untuk saling diselaraskan dan saling mendampingi satu sama lain. Itu saja.
30.10.2012
Selamat pagi, pagi
Selamat pagi, Allah Maha Baik
"Ga pengen bawa pisang rebus ke kantor?", kata mama sambil menunjuk sepiring pisang rebus yang masih hangat.
Setelah berpikir sebentar, saya pun menjawab "hmm...ga usah deh, ma"
"Anak-anaknya mama ini kok ga ada yang nurun suka makanan favoritnya mama", balas mama sambil tersenyum
"Emang makanan favoritnya mama apa?"
"Ketan bubuk, mama suka tapi anak-anaknya mama ga ada yang suka"
"Yahh, mam...ya maaf kalau ketan bubuk, kan aku memang ga suka ketan"
"Itu padahal papamu juga suka sama ketan bubuk. Ini ga tau, anak-anaknya mama pada nurun makanan favoritnya siapa"
Jawaban terakhir mama, mendadak buat saya merenung sekilas. Ah, apa begitu mudahnya menilai seseorang dari makanan favoritnya? Saya bukan protes atau marah ke mama, cuma yahh...kenapa mikirnya sebegitu amat sih?
Setelah diam sesaat, saya pun mencoba menjawab dengan nada bicara yang amat sangat diusahakan sewajar mungkin (karena takut mama menilai saya marah)
"Nah kan mam...masalah makanan favorit aja, belum tentu anak itu nurun dari favorit orang tuanya. Padahal, itu masalah simpel kan? Apalagi nanti soal sifat atau pilihan hidup, setiap anak punya pilihan hidupnya masing-masing, ga mungkin juga dipaksain buat jadi sama kayak orang tuanya kan?"
Mama terdiam. Saya bergegas ke kantor, setelah mengucap salam.
Di tengah perjalanan, saya terus berpikir tentang percakapan singkat itu. Bukan berarti saya dalam waktu belakangan ini ada kontra pendapat dengan mama, bukan itu. Hanya saja, saya ingin lebih mengingatkan mama juga diri saya sendiri bahwa dengan keadaan apapun, kita tidak akan bisa memaksakan kehendak yang kita punya pada orang lain. Kehendak orang tua seringkali bukan kehendak yang sama dengan anaknya, sekalipun orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya. Kebebasan itu mutlak, asal masih dalam koridor yang tepat dan kita berani bertanggung jawab atas pilihan yang sudah kita pilih. Itu menurut saya.
Dan akhirnya, tepat ketika saya menulis tulisan ini, saya semakin tersadar. Bagaimana pun adanya, ingat...kita semua, tidak pernah sama. Tidak akan pernah sama. Allah Yang Maha Baik menciptakan kita beragam, mari kita hargai dan syukuri keragaman itu.
Karena buat saya...perbedaan itu, bukan untuk diperdebatkan tapi untuk saling diselaraskan dan saling mendampingi satu sama lain. Itu saja.
30.10.2012
Selamat pagi, pagi
Selamat pagi, Allah Maha Baik
Komentar
Posting Komentar