Perempuan Seribu Hari
“Aku
sering membayangkan, ibuku bersama orang-orang hebat yang sudah meninggal itu
mungkin sedang ngobrol dan berdiskusi atau bahkan bertengkar: Karl Marx,
Darwin, John Lennon, Virginia Woolf, Sylivia Plath, Kartini, Bung Karno,
Chairil Anwar… Apa saja yang mereka ributkan?”
Di halaman 203 dan 204 “9 dari Nadira”
karangan Leila S. Chudori, aku sempat terhenti. Kalimat imajinasi Nadira, sang
tokoh, secara langsung buat aku membayangkan sesuatu yang (mungkin) terkesan
absurd. Sesuatu yang sebenarnya pernah terlintas di pikiran, tapi tidak
sebegitunya dipikirkan. Sesuatu yang sederhana, tentang mereka yang sudah lebih
dulu meninggalkan. Mungkin bukan sepenuhnya meninggalkan, tapi mereka hanya
sudah pergi lebih dulu. Ke tempat di mana kebahagiaan tidak lagi semu.
Aku mengingatmu, oma Marjam. Dengan jelas.
Segala gurat wajah dengan senyum yang melengkung di bibirmu, raut damai yang
tercetak jelas waktu menyambut pagi dan matahari yang masuk diam-diam lewat jendela
rumahmu yang besar, pun senyum bahagia ketika aku, cucumu, datang berkunjung
menemuimu.
Jadi, Oma lagi apa?
Tidur-tiduran?
Kumpul opa, pakde, buyut putri juga kakung,
sekaligus saling tukar cerita?
Cerita apa yang oma bagi? Pernahkah aku
dengar cerita itu?
Atau mungkin kalian sedang berdebat? Tentang
apa?
Baik-baik di sana, ya. Makan tepat waktu,
walaupun perasaan oma lagi bahagia, yang bikin oma selalu merasa kenyang. Ah
iya, adakah yang masak semur brutu ayam favorit oma?
Di sana masih perlu minum vitamin? Masih
perlu oma menggunting bungkus vitamin satu per satu, biar lebih gampang diambil
dari kotak setiap pagi? Atau opa yang sudah ambil alih perkara gunting-menggunting
itu?
Apa ada kebun anggrek di sana? Anggrek mana
yang lebih banyak? Anggrek Vanda, dendrobium, atau bulan?
Oma, ini sudah hampir hari keseribu... dan
aku masih saja rindu.
Sesekali, datang ke mimpiku, ya…
_____
13.08.2014
Komentar
Posting Komentar