Jamuan Istimewa

“Kamu sudah memaafkanku, Bim?”
Aku terdiam di depan pintu rumahnya. Masih menyembunyikan kedua tangan di saku celana, dan memilih untuk tidak menyambut jabat tangannya.
Aku mematung, memandangi wajahnya yang polos tanpa riasan. Cantik. Seperti biasa. Senyumnya menawan. Seperti biasa. Melihatnya hidup dan berbahagia seakan tidak ada apa-apa seperti itu membuat hatiku perih bagai tersayat. Seperti biasa.
“Boleh masuk?” tanyaku. Dan aku menerobos masuk ke rumahnya, tanpa menunggu Aira menjawab pertanyaanku.
“Sepi. Pada ke mana?” tanyaku.
“Keluar kota. Jadi, kamu sudah memaafkanku?” tanyanya lagi.
Kubiarkan punggungku saja yang meladeni pertanyaannya. Aku masih berdiri dan mengamati kesunyian di rumah Aira. Hingga akhirnya pandanganku terhenti pada sebuah sofa bermotif bunga yang warna hijaunya sudah mulai memudar.
Aku mendengus pelan.
Dulu, kukira sofa itu memudar karena sangat sering dijadikan tempat bercinta olehku dan Aira. Ternyata aku salah. Yang memudarkan warnanya, bukan aku saja.
“Ibu … apa kabar?” tanya Aira dengan hati-hati.
Sebuah senyum getir tersungging di bibirku. Pintar sekali. Pertanyaan yang tepat sasaran.
Aku berbalik dan memandang Aira. Matanya berbinar begitu indah. Terlalu indah untuk perasaanku yang masih diliputi amarah. Di mataku, Aira adalah ratu lebah. Memikat para lelaki dengan madunya, lalu membuat mereka mati tanpa daya.
Ah. Bukan. Bukan lelaki saja. Ibuku, sudah termakan racun di dalam madu Aira. Tiba-tiba kepalaku dipenuhi percakapan dengan Ibu pagi tadi.
“Bener kamu putus sama Aira?”
Ayunan sendok yang sudah hampir masuk ke mulutku, terhenti seketika. Dan mendadak, aku hilang selera. Lagi-lagi, Ibu mengajukan pertanyaan yang sama. Lagi-lagi, tentang Aira.
Aku bergeming, bosan dengan pertanyaan yang tak pernah bosan ditanyakan Ibu. Pertanyaan yang sebelumnya tak pernah kujawab karena tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Aku menghela napas, lalu melanjutkan makan yang sempat tertunda.
“Bima, yakin kamu putus sama Aira? Jawab pertanyaan Ibu,” kata Ibu dengan pandangan lekat ke arahku. Tidak bergeser sedikit pun.
Kuletakkan sendok garpuku dengan agak kasar. Tiba-tiba, nasi goreng buatan Ibu tak lagi seenak biasanya. Kuteguk habis air putih di gelas dan memilih untuk menyerah. Menyerah pada pertanyaan Ibu yang tidak mungkin kuhindari selamanya.
“Iya, Bu. Kami sudah putus dua bulan yang lalu. Aku yang memutuskan jika Ibu bertanya.”
Raut wajah Ibu berubah. Matanya terbelalak. Mukosa bibirnya mengering karena menganga cukup lama. Aku mengalihkan pandang, mencoba membangkitkan hasrat dan rasa lapar pada nasi goreng yang teronggok di depan mata. Tapi hampa.
Ibu kecewa. Sial. Aku benci membuat Ibu kecewa.
Ibu memandangku dengan lekat, “Ibu sudah cocok sama Aira. Aira itu cantik, hatinya baik, pinter masak. Tiga lebaran ini juga selalu sowan sama Ibu. Aira itu kurang opo, Bim? Ibu sudah mikir lebaran nanti akan ada acara lamaran. Eh, lha kok malah kamu putusin. Kamu mau cari perempuan yang kayak gimana lagi, Le?”
“Kebaikan Aira itu bagai alkohol, Bu. Memabukkan. Tapi mudah menguap.”
“Mungkin kamu enggak tahu, seberapa sering Aira nemenin Ibu setiap kamu lagi tugas kantor keluar kota. Ibu sudah tua, takut enggak sempat lihat kamu nikah. Harapan Ibu sebelum nyusul Bapakmu ke surga, ya, nggendong anakmu, Bim.”
Aku menghela napas. “Bu, perempuan enggak cuma Aira. Ada banyak. Kalau memang sudah waktunya putus, ya putus. Enggak jodoh.”
“Tapi Ibu sudah cocok sama dia. Lagian, siapa yang jamin kamu bisa dapat perempuan lain sebaik Aira? Jangan keras kepala, Le. Orang pacaran terus bertengkar itu biasa. Tapi harus ada yang mau ngalah. Kalau putus-putus terus, kapan kamu berkeluarga?”
Ibu berdiri, mengitari meja makan tempat kami berada dan akhirnya berhenti di belakang kursiku. Sambil memegang pundakku, Ibu mencium ubun-ubunku dan berbisik, “Ramadhan kurang tiga hari lagi. Temui Aira. Kamu harus minta maaf. Ibu pengin lihat kalian bahagia.”
Ibu menyudahi percakapan itu dengan meninggalkan ruang makan. Tanganku terkepal. Terasa sakit hingga ujung-ujung kukuku membekas di telapak tangan.
Ada sesuatu yang membuat dadaku bergolak. Ego kelaki-lakianku memuncak. Mungkin mudah bagi Ibu untuk mengatakan bahwa aku harus kembali pada pelacur itu. Karena Ibu sama sekali tidak pernah tahu siapa Aira sebenarnya. Iblis wanita yang berani bermain kotor di belakangku.
Telah kututupi segala aib Aira demi Ibu. Agar hati Ibu tidak terluka. Aku tidak berani membayangkan, bagaimana jika Ibu tahu bahwa Aira berselingkuh. Aku bisa memaafkan Aira ketika untuk pertama kali, aku memergoki seorang pria tambun yang lebih pantas menjadi ayahnya, melumat bibirnya di atas sofa motif bunga yang hijaunya memudar ini. Tapi hingga tiga kali, dengan pria yang berganti-ganti, kurasa tidak. Sudah cukup tiga tahun ini aku merasa tersakiti oleh Aira. Dan juga dengan tabiat buruknya.
Tapi di sinilah aku sekarang. Berhadapan dengan Aira, perempuan yang menyayat hatiku setelah berbagi cinta dengan beberapa pria. Mencoba menyambung lagi kepingan harapan Ibu yang hancur karena kecewa.
“Ibu memintamu datang. Undangan makan malam. Segeralah berganti pakaian,” lirihku.
“Ah iya. Ibu berulang tahun. Jadi, benar kamu memaafkanku, Bim?” tanyanya untuk kesekian kali.
Aku tersenyum. Menghela napas dan menjatuhkan diri di atas sofa motif bunga yang warna hijaunya mulai memudar. “Aku tidak mungkin pulang dengan tangan hampa. Aku tidak ingin Ibu kecewa. Anggap saja aku sedang berbaik hati, menerimamu lagi tepat sebelum bulan puasa.”
Senyum Aira merekah. Tubuhnya yang mungil melompat-lompat hingga akhirnya mendekapku dengan pelukan yang sangat erat. “Aku tahu kamu akan memaafkanku. Aku tahu. Kamu sesayang itu sama aku.”
Setelah menghujani pipi dan bibirku dengan kecupan, Aira melesat menuju kamarnya. Aku memandang punggungnya dengan nanar.
***
Malam yang istimewa. Malam ini adalah ulang tahun Ibu. Sengaja, aku memasak sendiri sirloin steak kesukaan Ibu. Kupotong dagingnya dengan ukuran agak tebal. Lalu menyiramkan saus jamur di atasnya.
“Selamat ulang tahun, Bu,” ujarku sambil meletakkan sepiring sirloin steak saus jamur di hadapannya. Lalu mengecup kedua pipinya.
“Ah, tumben sekali kamu manis begini. Terima kasih, Bima anakku ….” kata Ibu sambil mencubit pipi kiriku.
Aku terkekeh dan segera menempati kursi makan yang berhadapan dengan Ibu. “Bima, kan, selalu manis, Bu. Ayo dicoba steaknya…,” jawabku seraya mengerlingkan mata kanan.
Ibu mengigit potongan steak dengan menggangguk-anggukkan kepala. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala. Puas melihat Ibu tersenyum.
“Enak, Le. Kamu pinter masak juga. Pasti diajari Aira, ya. Katanya tadi kamu jemput Aira. Dia enggak jadi datang?” tanya Ibu.
Aku tersenyum. Memandang piring steak Ibu yang hampir tandas.
“Bima sudah membawanya ke sini, Bu. Sejak tadi.”
***
Juli, 2013
Surabaya – Malang

----------------------
* Kolaborasi bersama Nina Nur Arifah, dibukukan dalam Kejutan Sebelum Ramadhan -- Kolaborasi #2

Komentar

  1. Damn!!!!! So damn good, Onty Vandaaaa. Cerita cinta klise yang dibungkus thiller dan baru ketahuan di ending. Great!

    BalasHapus
    Balasan
    1. seneng juga kalau kamu seneng, hehehe. partner nulisnya juga kece ituuu... :*

      Hapus
  2. yakin Bima setega itu? daripada di jadiin makanan, mening di jadiin pemuas hasrat aja.

    BalasHapus
  3. Iihhh, kerennn! :)

    BalasHapus
  4. Oya, kalau pun harus kasih kritik, aku mau sorotin perihal manajemen waktu dalam cerita. Saat Bimo menjemput Aira dan meminta dia berganti baju, yang kupikirkan adalah mereka akan SEGERA menghadiri sebuah jamuan. Jadi, kapan Bimo melakukan pembunuhan kemudian 'menyiapkan hidangan'? Rentang waktunya sempit, kan? :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer