Benci Kata Mati
Akhir-akhir ini, emosiku kembali naik-turun tiap mendengar orang terdekat menyebut kata "mati". Entah itu dilafalkan dengan spontan karena ekspresi kepanikan (contoh: mati aku!) atau keluhan dari kondisi badan seseorang yang kurang sehat, berujung omongan "rasanya kayak mau mati."
Setiap kali mendengar mereka bicara seperti itu, seketika aku merasa sedih, bahkan nyaris menangis. Celakanya, teman kerja yang sudah jadi rekanku selama 12 tahun, sering sekali mengucap kata itu. Tentu saja kondisiku jadi semakin tidak baik-baik saja.
Aku sadar kalau bermasalah dengan kehilangan. Rasanya itu selalu jadi kendala hidup terbesarku, terutama sejak Papa meninggal pada tahun 2016. Sebenarnya aku paham kalau manusia pasti akan mati dan/atau pergi. Ada satu pesan baik dari orang dari masa lalu, yang selalu aku ingat, yaitu "Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya". Sayangnya, aku tak sanggup menghadapi banjir bandang dari perasaan sendirian dan ditinggalkan. Aku bukannya berharap mereka jadi makhluk yang abadi. Sama sekali bukan. Aku hanya ingin selalu ditemani.
Kadang merasa lucu, karena aku senang pergi ke mana-mana seorang diri, tapi emoh ditinggal sendiri. Aku jumawa bisa melakukan semuanya sendiri, tapi seketika rapuh waktu orang yang biasa ada dan bisa aku rasakan kehadirannya, akhirnya harus pergi.
Ironi.
Dulu, aku sering berpendapat kalau orang yang berucap kata mati itu jahat, karena seakan "menantang" kehendak Tuhan dan berdoa tanpa sadar untuk dicabut nyawanya. Dasar pemikiran ini selalu membawaku untuk berkomentar "Kenapa, sih, harus bilang mati segala? Emang ngga ada kata yang lain?"
Belakangan aku menyadari kalau itu ternyata bukan satu-satunya alasanku membenci kata mati. Ternyata, aku sembunyi di balik rasa ketakutan, kesedihan, dan kelemahanku untuk menerima kenyataan kalau aku tidak lagi bisa mencetak memori manis bersamanya. Fakta kalau aku harus benar-benar jalan sendirian, membuatku limbung. Pikiran-pikiran dan ketakutan acak seperti "Aku bisa apa, tanpa mereka?" dan/atau "Kenapa aku ditinggal lagi?" terus mendekam di kepala. Rasanya sangat menyesakkan dan aku ingin sekali bisa mengeluarkannya dari kepala, hingga bersih tanpa sisa.
Merelakan rasanya jadi pekerjaan rumah terbesarku sampai kapan pun. Self-healing yang diajarkan psikologku dulu, sepertinya perlu mulai kembali dilakukan secara mandiri. Mungkin tidak seketika ada efeknya, tapi setidaknya jauh lebih baik daripada nanti aku berubah menjadi sebuah bom waktu.
Komentar
Posting Komentar