[Review Buku] Aster untuk Gayatri


Judul: Aster untuk Gayatri
Penulis: Irfan Rizky
Penerbit: Mazaya Publishing House
Tebal: iv + 160 halaman
ISBN: 978-602-6362-35-3

Blurb:

Telah kularungkan
Kepada Gayatri
Tiap-tiap kesedihan
Jua
Perih-pedih
Masa lampau

Dan telah kuwariskan
Kepada Giran
Cerita-cerita luka
Tentang rindu
Yang
Dipandanginya lama-lama

Pun telah kuhidangkan
Kepada kamu
Seorang
Kisah-kisah tentang
Apa-apa
Yang harusnya
Ada
Dan apa-apa
Yang mestinya
Tiada


Alur Cerita:

Buku ini menceritakan soal Gayatri, seorang dosen di sebuah universitas, yang menurut settingnya, ada di kota Bogor. Seorang pencinta hujan, yang secara pribadi cukup pendiam. Gayatri diceritakan jatuh cinta ke salah satu mahasiswanya, Giran. Cinta ini (untungnya) nggak bertepuk sebelah tangan. Giran juga jatuh cinta, bahkan sering kasih bunga aster ke Gayatri.

Di kehidupan sehari-hari, Gayatri yang seorang yatim piatu sejak kecil, tinggal bersama paman dan bibinya, Apak Bahar dan Mande Zaidar. Hubungan antara Gayatri dengan Mande Zaidar, amat baik dan saling menyayangi. Sayangnya, hubungan dengan Apak Bahar jauh sebaliknya. Apak Bahar sering obral kata kasar, suka judi, pemabuk berat, bahkan suka memukul.

Konflik mulai muncul ketika Apak Bahar berniat menjodohkan Gayatri ke seorang kenalan, yang menurutnya lelaki baik hati, bernama Nila. Sebuah janji temu dirancang oleh Apak Bahar.

Pada hari yang sudah ditentukan, Nila datang melewati waktu yang sudah dijanjikan. Selama menunggu, dia ditemani oleh Giran, yang sebelumnya ditemui oleh Gayatri di perpustakaan tempat Giran bekerja. Giran seakan dewa penyelamat bagi Gayatri dari sekumpulan teman Nila yang berpenampilan, juga memiliki gelagat mencurigakan. Giran segera mengajak Gayatri untuk pulang. Ajakan yang langsung diiyakan oleh Gayatri.

Celakanya, sesampai di rumah, Apak Bahar mendapat kabar soal kisruh pertemuan antara Gayatri dengan Nila. Gayatri habis dianiaya oleh Apak Bahar, dan Mande Zaidar pun sama sekali tak mampu untuk menolong dan membantu terlalu banyak, selain berusaha membujuk Gayatri untuk menuruti saran dari suaminya, yang tak lain pamannya sendiri.

Apak Bahar lebih murka lagi begitu tahu ada lelaki lain, Giran, yang sedang bersama Gayatri. Baginya, Giran adalah pengacau atas ide perjodohan Gayatri – Nila yang dia rancang. Di mata Apak Bahar, hanya Nila seorang yang dianggap benar-benar mau sepenuhnya menerima Gayatri apa adanya, lengkap dengan semua masa lalunya yang terlalu kelam. Masa lalu yang terlalu jeri, bahkan untuk diingat oleh Gayatri sendiri.

Sebenarnya, sekelam apa masa lalu Gayatri? Lalu, keputusan apa yang akhirnya dipilih oleh Gayatri? Apakah tetap bersama Giran atau menuruti perjodohan yang dirancang Apak Bahar? Atau justru memilih untuk tidak memilih pilihan yang ada?


Review:

Jujur, saya merasa kaget sama penggunaan bahasa yang dipakai penulis. Belum pernah ada yang seperti ini. Kosakata yang dipilih penulis, seakan-akan buat saya merasa sedang membaca sebuah puisi. Saya kebingungan meyakinkan diri sendiri, apa ini sebuah novel atau sebuah buku puisi tapi berbentuk novel. Pemilihan bahasa baku juga jadi daya tarik tersendiri buat baca buku ini. Terlalu banyak pemilihan kata baru, yang mau nggak mau bikin saya jadi rajin buka KBBI buat cari artinya satu per satu.

Sekali dua muncul percakapan berbahasa Minang, baik dari cerita Gayatri maupun Giran. Pemilihan bahasa daerah yang sempat bikin saya curiga kalau penulis juga orang Minang. Sama sekali nggak akan merasa kebingungan baca bahasa Minang, lewat bantuan catatan kaki yang menjelaskan baik itu arti percakapan, maupun arti dari sebuah istilah yang ditulis.

Yang sangat disayangkan dari karangan ini, terlalu banyak narasi yang bertele-tele, sampai akhirnya agak keteteran di beberapa hal yang justru perlu ditulis detail. Begitu tahu kalau Giran ternyata juga punya konflik batin dari masa lalu yang nggak kalah hebat dibanding Gayatri, terus terang saya agak kecewa kenapa konflik batin ini cuma diangkat sekali. Itu pun hanya sekilas. Padahal cerita soal kehidupan Giran sehari-hari cukup banyak dijabarkan, tapi konflik batin (yang buat saya juga cukup mengguncang) ini seakan sama sekali nggak ada pengaruh berarti di kehidupannya.

Soal kalimat yang quotable, ada beberapa yang saya temukan dan ditandai post-it:

Agar jatuh cinta sedikit demi sedikit saja, karena siapa yang pernah tahu sakitnya seperti apa jika tergesa-gesa memberi segala? --- halaman 13

Seperti yang telah dipelajarinya tentang hidup di bawah langit ini, terkadang bersikap tak acuh pada hal-hal yang sepatutnya diacuhkan adalah kunci ketenangan. --- halaman 19

Sebab, hubungan seperti apa pun akan sia-sia jika salah satu tak pernah bias menerima satu yang lain, termasuk masa lalunya. --- halaman 84

Hanya satu yang kusesali;
Aku lupa bertanya; cara tercepat melupakanmu. --- halaman 140

“Jangan pernah meremehkan apa pun tindakanmu. Sekecil bagaimana pun, mungkin saja akan merubah hidup seseorang, menyelamatkan nyawa seseorang.” --- Giran, halaman 156


Buku ini memang tidak terlalu tebal. Bagi yang punya waktu luang berlebih, bahkan mungkin bisa dibaca ibarat satu tarikan napas. Ceritanya ringan, tapi kosakatanya jauh dari sebutan ringan. Gabungan antara cerita dan puisi, bisa jadi daya tarik tersendiri buat buku ini.

Dua setengah bintang untuk konflik yang dipilih oleh penulis. Ditambah satu setengah bintang untuk pemilihan kosakata juga tata cara penulisan yang lain dari biasanya.

Empat dari lima bintang!

07.06.2017


Komentar

Postingan Populer