[Prompt #141] Menunggu



Aku tak tahu harus berapa lama lagi menunggu Ibu di sini. Tadi Ibu pergi terburu-buru dan sialnya, aku tak sempat menanyakan dia hendak ke mana. Dugaanku, Ibu pergi sebentar saja. Mana mungkin dia tega terlalu lama meninggalkan putrinya sendirian, kan? Tengah malam pula.

Kutelengkan kepalaku ke sisi kanan. Aku tak pernah ke tempat ini sebelumnya. Sebuah jembatan kuno yang rangkanya cukup kokoh. Tua. Sudah lapuk dimakan zaman, tapi rasanya dijadikan penanda kota. Itu dugaanku saja, karena biar bagaimana juga, aku, toh, tak pernah ke sini sebelumnya.

Kurapatkan pelukan ke diriku sendiri. Baju yang Ibu pilihkan ini cukup hangat, tapi tak lebih hangat dibanding dekapan Ibu. Di dekapannya, aku bisa mendengar debar jantungnya. Lantunan paling merdu yang pernah kudengar. Kadang lamban, kadang pula cepat. Tak apa. Itu bukan masalah. Aku tetap menyukai suara debar jantung Ibu. Satu-satunya suara yang bisa seketika membawaku lelap ke alam mimpi.

Ibu belum juga muncul. Aku mulai gelisah. Tak tahu pula harus mencarinya ke mana. Tadi Ibu berpesan untuk menunggu di sini, jadi sebaiknya aku menurutinya saja. Aku hanya ingin jadi anak yang baik di mata Ibu.

Kucoba menelengkan kepala ke kiri. Tak terlalu jauh dari tempatku, ada beberapa becak berjajar rapi. Kuperhatikan lagi, ada beberapa pengendaranya yang sedang lelap dengan posisi badan tertekuk, mengikuti bentuk becak. Beberapa becak ada yang terlihat kosong. Kutebak, mungkin pemiliknya sedang duduk bercengkrama di warung kopi tak jauh dari situ.

Astaga! Sudah berapa tebakan yang aku hasilkan selama menunggu Ibu? Padahal semuanya belum tentu benar. Tapi tak apa. Siapa juga yang peduli tebakanku itu salah atau benar, kan?

Tapi Ibu belum nampak juga batang hidungnya. Sebenarnya ke mana dia? Kenapa Ibu tega meninggalkan aku sendiri di sini? Apa ada sikapku yang membuat Ibu marah? Ah, tidak. Buktinya tadi Ibu sempat memeluk dan mencium keningku cukup lama, sebelum ia pergi.

Ah, nyamuk sialan! Gigitannya membuat pipiku gatal. Tidak adakah makhluk lain yang bisa dia isap darahnya? Tapi, aduh, bagaimana caranya aku menggaruk pipiku, sedangkan kedua tanganku terbebat sempurna di dalam selimut? Aduh, gatal! Aku tak tahan! Aku coba teriak saja, siapa tahu Ibu bisa mendengar, lalu datang menjemputku.

Ada langkah mendekat. Itu pasti Ibu! Aku bersorak dalam hati. Tapi, tunggu… ini bukan tangan Ibu. Kulitnya kasar, tak sehalus kulit Ibu. Astaga, siapa dia? Aku harus teriak lebih lantang, biar Ibu mendengarku.

Kurasakan orang ini mulai mendekapku, lalu membuka selimut yang sedikit menutupi wajahku. Ya Tuhan, siapa orang ini? Kudengar dia terpekik, lalu memanggil beberapa nama yang entah siapa. Tak lama, beberapa langkah mendekat. Ya Tuhan, siapa mereka? Tolong lindungi aku.

Oh, Ibu, dimana engkau? Cepat kembali. Selamatkan aku. Jangan terlalu lama kau tinggalkan aku di jembatan tua ini!

Ibu…

Ibu di mana?

___
14.05.2017
* 441 kata, tanpa judul dan catatan kaki

Komentar

Postingan Populer