[Prompt #123] Cerita di Hari Minggu
![]() |
Sumber |
Tak pernah ada yang tahu, apa alasan Oma selalu mengajakku ke gudang, lalu menemaninya menikmati foto-foto masa lalunya pada hari Minggu. Dari empat orang cucu yang tinggal bersamanya, hanya aku yang kerap ditunjukkan, pun diceritakan masa lalunya. Mulai cerita masa mudanya, kawan-kawannya, hingga cerita ketika bertemu Opa.
Jangan membayangkan gudang kami sebagai tempat kumuh, banyak sarang laba-laba, juga debu di mana-mana. Gudang kami dulunya dibangun untuk persediaan kamar asisten rumah tangga. Setelah selesai dibangun, Mama masih merasa sanggup mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, dan akhirnya mengubahnya menjadi gudang. Kami, anak-anaknya, kerap diminta bergantian membersihkan. Koleksi foto Oma terlalu banyak, dan rumah kami terlalu penuh, sehingga bingung meletakkan di mana. Melihat kebingungan Mama, Oma mengizinkan untuk meletakkan koleksi fotonya di gudang.
Hari ini, pada lembar kesekian dari album foto yang Oma buka, tertempel foto Opa berdiri bersebelahan dengan Oma. Aku melirik raut muka Oma yang berubah menjadi teduh ketika melihat foto itu.
“Ini pas Opa-Oma tunangan. Waktu itu Jepang sudah masuk. Zamannya jauh lebih susah. Kamera jadi barang mahal, mau foto jadi susah. Ini untung ada studio yang masih buka, jadi masih ada kenang-kenangan.” jelas Oma.
Opa terlihat amat tampan. Tenang, namun tegas. Raut mukanya menggambarkan keyakinan, juga keberanian menghadapi hidup dengan perempuan pilihannya.
“Kenapa Oma mau terima Opa? Kan Opa masih saudara sepupu. Oma dijodohin?” tanyaku hati-hati, takut menyinggung perasaannya.
“Oh, nggak. Kami saling suka, dan memutuskan sendiri buat nikah.”
“Keluarga nggak ada yang protes? Bisa segampang itu?”
“Kalau kamu udah yakin sama pilihanmu, ambil dan jalani. Berani tanggung jawab, dan orang lain nggak akan lagi mempermasalahkan apa yang sudah kamu pilih.” jawabnya sambil tersenyum.
Sekonyong-konyong, batinku serasa diterjang badai dan pelupuk mataku digenangi air mata. Teringat hubunganku dengan Putra, lelaki yang menjadi kekasihku selama tiga tahun, yang akhir-akhir ini menemui jalan buntu karena niatnya menikahiku belum sepenuhnya disetujui Mama.
“Kamu betul cinta sama Putra, Sayang?” tanya Oma tiba-tiba.
Aku menelan ludah. Gelagap. “Oma tahu dari mana?”
“Beberapa hari lalu, Mamamu sempat cerita soal kalian. Semuanya, termasuk hubungan kalian yang belum terlalu disetujui.” jelasnya.
Aku terguguk. Ganjalan di hati belakangan ini, seakan menemukan jalan pulang untuk dilabuhkan.
“Kamu betul-betul cinta? Yakin?” tanya Oma lagi, yang kujawab dengan anggukan kepala di sela tangisku. “Kalau memang sudah yakin, ambil, jalani, dan berani tanggung jawab sama pilihanmu.”
“T-tta-tapi… tapi nggak semudah itu, Oma. Mama sulit banget diyakinin. Aku nggak tahu lagi harus gimana ngomong sama Mama.”
“Ada Oma, Sayang. Biar nanti Oma yang ajak bicara. Yang penting Oma tahu kalau kamu yakin.”
Segera kupeluk Oma, erat. Tangisku mereda. “Terima kasih, Oma.”
“Sstt… kamu tenang, terus berdoa semoga Mama kasih izin. Ini… ambil dan simpan foto Opa-Oma baik–baik buat pengingat. Apapun pilihanmu, kalau sudah yakin, ambil, jalani, dan berani tanggung jawab. Nah sekarang, ayo, temani Oma makan siang. Oma sudah lapar.”
***
Sore harinya, ketika aku berniat memandikan Oma, aku menemukannya tersenyum dalam tidurnya yang nyenyak. Aku tidak lagi bisa menemukan detak jantungnya. Sambil menahan tangis, kupeluk erat Oma.
Oma pergi, sebelum sempat bicara pada Mama tentang Putra.
_____
14.08.2016
494 kata, tanpa judul dan catatan kaki
* Cerita berdasarkan kenangan pribadi penulis dengan almarhumah Oma, dengan beberapa perubahan.
is kok sedih kak
BalasHapus