[Review Buku] Delapan Sisi



Tepat waktu pertama kali baca judul buku ini, yang jadi gambaran di pikiran saya cuma satu. Arah mata angin, yang memiliki jumlah sama, delapan buah. Setiap nama mata angin itu mengarah ke arah yang berbeda, tapi saling memiliki satu pusat yang sama. Titik yang itu-itu juga.

Apa yang muncul di pikiran saya tadi, tidak sepenuhnya salah. Buku ini berisi delapan buah cerita pendek (dari delapan orang penulis), yang satu sama lain memiliki keterkaitan cerita dan tokoh. Masing-masing tokoh mengambil peran juga caranya sendiri-sendiri dalam pengambilan sebuah keputusan. Setiap keputusan yang mereka ambil, merupakan pantulan dari kehidupan satu orang. Satu orang yang saya anggap jadi pusat dari setiap cerita yang ada di buku ini. Seperti mata angin, kan?

Ada satu kalimat di halaman awal buku ini, yang menurut saya cukup menggelitik…

“Omnibook ini didedikasikan bagi mereka yang dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit.”

Bagi saya, iya, buku ini bisa jadi gambaran betapa manusia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan hidup yang sulit. Setiap orang punya cerita. Punya kegamangan yang berbeda-beda. Ada yang tegas bersikap, ada yang terus berjuang demi pilihannya dengan melakukan segala upaya sekalipun itu membahayakan nyawanya, ada yang rela mengorbankan perasaannya demi cita-citanya, ada yang memilih untuk berbahagia tanpa peduli kalau pilihannya menyakiti hati orang lain, dan ada pula yang memilih menyerah dan mengakhiri sendiri kehidupannya.

Yang saya suka dari buku ini, deskripsi perasaan masing-masing tokoh benar-benar apik. Tidak terlalu sukar untuk menebak bagaimana perasaan si tokoh atas kejadian yang dia hadapi. Rasa apatis, gundah, kecewa, harapan bahkan bertanya pada Tuhan (hal yang kerap dilakukan manusia) muncul dengan pemilihan kata yang menarik.

Tangan Lastri terhenti saat dia memegang berkas dengan foto anak kecil di atasnya.
“Geng, apa Tuhan memang nganggep  aku ndak pantes  jadi ibumu?” (hal. 47)

Sebentar lagi suara itu akan hilang. Ia memang tidak boleh egois. Yang di kantong itu setidaknya cukup untuk menghidupi anak-anak pantinya sebulan ke depan. (hal. 63)

Memandangi awan-awan yang berarak, aku bertanya pada diriku sendiri, “Bagaimana dengan kami? Apakah keturunan kami akan sebanyak awan di angkasa?” (hal. 132)

Pasca baca buku ini, jujur, saya cukup lama terdiam. Selama ini, saya merasa bahwa keputusan apa yang saya ambil, itu demi kepentingan saya sendiri. Saya yang jalani hidup, ya, saya bebas ambil pilihan yang saya mau. Tapi, buku ini berhasil menyentil pola pikir saya. Untuk kedepannya, tidak ada salahnya untuk memikirkan perasaan orang lain dalam pengambilan sebuah keputusan. Apa yang kita pilih, pasti berdampak ke orang-orang yang ada di sekitar kita, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tanpa bermaksud membuat rasa gamang makin menjadi-jadi, buku ini berusaha untuk meninggalkan jejak, berhati-hatilah dalam mengambil sebuah keputusan.


Karena pilihanmu bukan milikmu saja.

21.08.2013

Komentar

  1. sepertinya bagus ya mba bukunya :)

    BalasHapus
  2. @santi dewi
    ya, buat saya, buku yang bagus itu buku yang bisa meninggalkan jejak buat pembacanya. recommended. :)

    BalasHapus
  3. Aku juga penasaran sama buku ini ^^

    BalasHapus
  4. @evi
    kasih 3 dari 5 bintang buat buku ini :)

    BalasHapus
  5. noted! nnt beli akh

    BalasHapus
  6. Hai Vanda, terima kasih banyak atas reviewnya yah. Sangat berarti untuk kami. Sukses selalu. :) -Adityarakhman

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer