Kita dan Ketela
“Itu bedanya ketela rambat sama singkong. Ketela itu lebih
enak kalau disimpan dulu sehabis dipanen, biar getahnya hilang, jadi nggak
terasa getir pahit. Kalau singkong kebalikannya, harus langsung dikonsumsi
begitu dipanen.”
---
Ibu suri (panggilan untuk mama) seketika bersabda,
persis selepas saya mengeluh ada rasa getir mengarah pahit yang tercecap di
lidah, dari irisan ketela ungu yang baru saja dikukus untuk dimakan tadi malam.
Rasa getirnya aneh dan celakanya, cukup membekas di lidah dan baru benar-benar bisa
hilang pasca minum banyak air putih.
Ketela dengan label organik ini dibeli di sebuah toko zerowaste yang baru berusia seminggu di
Surabaya. Sebagai perempuan yang tidak terlalu tahu dan paham perihal bagaimana
cara memilih ketela yang baik, pertimbangan yang dipakai hanya sebatas ukuran
ketela yang tidak terlalu besar. Setidaknya cukup untuk sekali makan. Iya,
sesederhana itu.
Kenyataannya, keputusan sederhana itu tidak diikuti informasi
kapan ketela itu dipanen. Pemikiran bahwa umbi itu bisa dikonsumsi kapan saja,
mengalahkan pengalaman yang tidak pernah dipunyai sebelumnya terkait ajaran ‘harus
disimpan lebih dulu sebelum dikonsumsi’.
Sampai akhirnya, muncul sabda dari ibu suri. Yang celakanya,
sempat tertelan mentah-mentah, tanpa berniat mencari tahu kebenarannya. Detik
ini, sabda itu teringat lagi dan mencoba berinisiatif untuk cari tahu apa penyebab
dari rasa getir-pahit.
Jawaban ditemukan dari laman Badan Litbang Pertanian
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Rasa getir-pahit itu ada karena ketela
terkena hama Boleng (Cylas formicarius).
Yang lebih getir, ditulis pula kalau ketela yang sudah terkena hama tersebut
tidak layak dikonsumsi oleh manusia, bahkan hewan. Kerusakan akan lebih parah pada
saat umbi dilakukan penyimpanan.
Saya tidak berniat membandingkan pengalaman ibu suri terkait
ketela dengan hasil ilmiah dari Badan Litbang Pertanian. Hama itu bisa saja ada,
karena memang labelnya organik, yang secara otomatis, ditanam tanpa menggunakan
pestisida. Kondisi yang memancing hama untuk datang dan entah kenapa, saya
malah lebih tenang karena yakin apa yang dikonsumsi tidak mengandung bahan
kimia dalam bentuk apapun.
Namun mau tidak mau, sabda ibu suri soal menyimpan
lebih dulu ini cukup menggelitik. Kalau terkadang dalam menghadapi beberapa
masalah, kita ini perlu untuk mendiamkannya lebih dulu. Bukan untuk mengabaikan
atau tak mengacuhkan, tapi karena kita perlu jeda.
Untuk diam.
Untuk berpikir.
Untuk menelaah.
Atau sekadar untuk menghela napas lebih kerap dan
tidak larut dalam emosi yang sesat.
Kebanyakan dari kita terbiasa mengambil jeda ketika
mendapat kebaikan untuk mengucap syukur, tapi sayangnya, tidak demikian ketika
hal buruk yang datang. Alih-alih tenang
atau diam beberapa saat, yang sering terjadi justru lebih memilih seketika
reaktif, yang notabene disikapi dengan perasaan marah atau tidak terima. Menyalahkan
dan mengarahkan telunjuk atas tudingan kesalahan pada banyak orang. Apalagi
kalau masalahnya berkaitan dengan agama. Sedikit-sedikit teriak kafir,
kristenisasi, murtad, dsb. Belum lagi emosional perkara masalah pembangunan
rumah ibadah agama lain yang (dianggap) tidak berizin. Jangan lupa juga soal
perbedaan pilihan politik.
Tulisan ini bukan bermaksud untuk menyalahkan atau
memandang remeh atas orang-orang yang kerap reaktif. Sama sekali bukan, karena
saya juga masih sering sulit untuk menata pikiran di masa-masa pelik dengan
masalah.
Hanya saja, kalau boleh berharap, semoga kita –
terutama saya -- bisa belajar dari ilmu ketela. Untuk bisa lebih dulu menyimpan
amarah, saling menahan diri untuk tidak mengumbar emosi terlalu kerap, dan bisa
diam sejenak untuk kebaikan bagi diri sendiri, juga bagi orang lain.
Kalau boleh berharap...
Akhirnya ngeblog lagi. ππΌππΌππΌ
BalasHapusBtw, filosofinya mantul, Kak. ππΌππΌππΌ