[Review Buku] Misteri Cincin yang Hilang
sumber |
Judul:
Misteri Cincin yang Hilang
Penulis:
S. Mara Gd
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
ISBN:
979-605-152-4
Tebal:
528 halaman
Cetakan:
Ketiga, Mei 2005
Blurb:
Josefina
Aznan tidak mengetahui bahwa dia memiliki sesuatu yang berharga di Lawang,
sampai paman dan bibinya yang sudah tidak pernah dilihatnya selama belasan
tahun tiba-tiba muncul mencarinya.
Itulah
awal munculnya intrik dan pembunuhan di kota kecil yang berhawa sejuk itu.
Baru
tiga hari Josefina di sana, dia sudah dituduh membunuh seorang laki-laki tua,
bekas tukang kebun kakeknya, karena dianggap dia ingin mengambil kembali cincin
paman angkatnya yang telah dicuri si tukang kebun tiga puluhan tahun yang lalu.
Tapi sebelum polisi berhasil membuktikannya, jatuh lagi korban berikutnya, dan
berikutnya. Semua korban tenyata orang-orang yang sudah tua.
Siapakah
si pembunuh ini, yang berkeliaran membunuh orang-orang tua itu, dan mengapa? Apakah
itu ada kaitanya dengan cincin Hartono yang hilang?
Kapten
Polisi Kosasih dan rekannya Gozali kali ini harus berlomba dengan si pembunuh. Mereka
sudah kecurian tiga langkah, berhasilkah mereka menangkapnya atau akan jatuh
korban yang keempat?
Review:
Menjadi
Josefina Aznan (Josi) itu seakan mendapat durian runtuh. Umur 23 tahun, hidup sederhana
dengan ibu dan ayah tirinya, tiba-tiba diberitahu oleh keluarga pamannya kalau ternyata
dia memiliki harta “terpendam”. Dia memperoleh hibah dari almarhum neneknya, sebuah
rumah kuno yang lengkap dengan halaman yang luas. Terkejut dengan informasi
tersebut, Josi memutuskan untuk mengikuti keluarga dari ayah kandungnya itu dan
menginap beberapa hari di rumah yang terletak di Lawang.
Setibanya
di sana, dia ditunjukkan oleh bibinya beberapa album foto lama. Dia turut
diberitahu beberapa cerita keluarga yang belum pernah dia tahu. Tentang perangai
kakek-neneknya, asal usul rumah, hingga pabrik permen milik kakeknya yang sudah
gulung tikar. Semua cerita bibinya, membuat Josi tidak merasa puas. Rasa ingin
tahu yang tinggi atas cerita masa lalu ayah kandungnya (Irawan Aznan) yang
meninggal ketika Josi berumur tujuh tahun, membuatnya bertemu dengan Hidayat,
teman masa kecil ayahnya. Oleh Hidayat, Josi diberitahu bahwa keluarga Aznan
memiliki tragedi yang tersimpan selama berpuluh-puluh tahun dan diketahui oleh
khalayak umum. Dari sekian tragedi, yang paling membuat Josi penasaran adalah
misteri hilangnya Hartono, kakak angkat ayah Josi, yang belakangan dikabarkan meninggal
lewat surat Irawan Aznan kepada Hidayat.
Nasib
membawa Josi bertemu dengan Cak Lasito, bekas tukang kebun di rumahnya sekitar
tiga puluh tahun yang lalu. Di pertemuan pertama, Josi menemukan bahwa Cak
Lasito sedang memakai cincin milik Hartono. Josi dengan jiwa mudanya yang
menggelegak, seketika menduga si bekas tukang kebun itu mencuri cincin itu. Dugaan
yang serta-merta dibantah oleh Cak Lasito. Keinginan Cak Lasito untuk
mengembalikan cincin itu, ditolak mentah-mentah oleh Josi, karena baginya tidak
ada gunanya dan biar Cak Lasito yang mempertanggungjawabkan perbuatannya
sendiri di akherat kepada Hartono.
Tapi
keesokan harinya, Cak Lasito ditemukan tewas dengan leher tercekik dan cincin
yang dipermasalahkan oleh Josi, hilang!
Dugaan
banyak orang seketika mengarah pada Josi. Sekian puluh tahun cincin itu tidak
pernah ada yang mempermasalahkan, pasca Josi datang, cincin itu menjadi
penting. Lebih peliknya, cincin itu mendadak dianggap berbahaya bagi seseorang
dengan jatuhnya korban berikutnya. Kapten Polisi Kosasih dan Gozali berhasil
dibuat kebingungan dengan banyakya korban yang jatuhnya beruntut satu demi satu.
Lawang
sebagai lokasi yang dipilih oleh penulis dan cukup saya kenal karena sering
saya lewati, membuat saya mudah membayangkan bagaimana kondisi di cerita
tersebut. Alur maju dan beberapa pengetahuan forensik yang turut tertulis,
membuat buku ini makin enak dibaca. Pembaca tidak hanya disuguhi cerita, tapi
juga ilmu. Perihal lebam mayat, rigor
mortis, bagaimana cara pembunuh membunuh korbannya, ditulis dengan bahasa
yang mudah dipahami orang awam.
Josi
menjadi tokoh yang paling ditonjolkan di cerita ini. Sifatnya yang keras kepala
dan amat sangat ingin tahu, cukup mengganggu dan sempat membuat saya merasa “hih!”
banget. Tapi yang paling favorit, Gozali! Rekan dari Kapten Polisi Kosasih ini
sekalipun tidak banyak bicara, tapi selalu berhasil menganalisa perkara dengan
baik, juga membuat banyak dugaan-dugaan berdasarkan bukti yang ada, dan ternyata
benar.
Ending
cerita ini bikin bengong sekian detik, karena pelakunya nggak terduga sama
sekali. Penulis keren banget menggiring pembaca untuk kebingungan menebak si
pelaku. Saya yang awalnya tidak punya ekspektasi terlalu tinggi ke buku ini
(bahkan cenderung tidak berharap banyak karena gambar sampul yang terlalu
sederhana), jadi amat sangat puas dan memutuskan ingin membaca buku-buku
karangan S. Mara Gd yang lain.
Yang
buat lebih bahagia, takdir sudah membawa saya bertemu dengan si penulis. Yang saya
sampaikan? Nggak banyak. Udah speechless duluan,
karena sama sekali nggak nyangka bisa ketemu beliau.
Kalau
Jepang punya Conan, dan Inggris punya Holmes, bagi saya… Indonesia punya Kapten
Polisi Kosasih dan Gozali. Terakhir, dari segi cerita yang menarik, ilmu
forensik yang sederhana tapi mudah dipahami, juga ending yang tidak terduga, 5
dari 5 bintang adalah sesuatu yang pantas untuk buku ini.
_____
15.03.2015
Bagus sekali memang novel tersebut. S Mara Gd, novelis senior banget terutama untuk tema misteri.
BalasHapusSaya baca sekitar tahun 2008 yang lalu.
@nuzululpunya
Review yang bagus sekali. Saya membaca buku ini saat SD, sekitar tahun 1999 atau 2000, sudah lupa karena lama sekali. Bukunya bagus sekali.
BalasHapus